JAKARTA, DDTCNews – Langkah Amerika Serikat (AS) yang menurunkan tarif pajaknya akan memicu persaingan pajak dalam skala global. Oleh karena itu, kebijakan dalam bidang pajak harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji. Menurutnya, situasi pajak global menuntut pemerintah bergerak cepat dalam urusan pajak, salah satunya adalah insentif pajak yang kini tengah digodok pemerintah.
"Kompetisi pajak bakal lebih intens. Jerman juga ingin menurunkan tarif pajaknya, China merespons, Uni Eropa merespons, Indonesia sendiri bagaimana?," katanya, Kamis (23/2).
Menurut Bawono, penyesuaian tarif pajak di beberapa negara maju akan memberikan tekanan likuiditas di dalam negeri. Sebagai contoh adalah penurunan tarif PPh Badan di AS dari 35% menjadi 21%.
Kebijakan AS ini akan memicu aliran keluar dana asing khususnya dari korporasi asal Negeri Paman Sam untuk balik kandang. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan strategi khusus menyikapi hal ini.
"Reformasi pajak AS menurunkan PPh Badan jadi 21% dan beralih dari sistem worldwide menjadi teritorial. Artinya apa, ini akan banyak menarik investasi global," ungkapnya.
Oleh karena itu, insentif pajak bisa dijadikan alat untuk membuat posisi Indonesia tetap menarik dalam kompetisi pajak global, jika dibandingkan ikut-ikutan menurunkan tarif pajak. Namun, diperlukan perbaikan agar insentif pajak diminati oleh dunia usaha.
"Ada beberapa faktor kenapa insentif pajak saat ini kurang diminati, misalnya tax holiday, bukan pure pembebasan, tapi pengurangan. Skalanya antara 10%-100% pengurangannya, ada yang bebasnya hanya 10%, ada yang benar-benar nol. Pengusaha berpikir prosedur pengajuannya rumit tapi kurang jelas pengukurannya," tutupnya. (Amu)