JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Senin (25/9), media nasional memberitakan soal sejumlah negara yang ramai-ramai memangkas tarif pajak. Kabar terbaru, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengumumkan penurunan tarif pajak korporasi di AS menjadi 20% dari saat ini 35%.
Adapun tarif pajak perorangan yang saat ini 39,6% akan dipangkas menjadi 35%. Trump menegaskan akan mengumumkan hal itu dalam waktu dekat. Dia yakin, penurunan tarif pajak bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak.
Negara-negara lain yang menurunkan tarif pajak di antaranya Denmark yang akan memangkas tarif pajak kendaraan dan pajak bagi pensiunan, Jepang dengan penurunan tarif pajak perusahaan yang kini di level 29,97%, dan India yang telah memangkas tarif pajak individu dari 10% menjadi 5%.
Selain itu, Filipina juga berencana untuk menurunkan tarif pajak perusahaan dari 30% menjadi 25% dan tarif pajak individu dari 32% menjadi 25%. Sementara Malaysia telah memangkas maksimal pengenaan pajak individu dari semula 28% menjadi 26% bagi penduduk asli dan 27% bagi orang asing.
Berita lainnya seputar komentar pengamat soal sistem pajak Indonesia yang harus memberi kepastian hukum dan PP No 36/2017 yang dikhawatirkan akan membuat wajib pajak mengerem belanja. Berikut ulasan berita selengkapnya:
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan yang perlu dilakukan dalam membangun sistem pajak Indonesia yang mendukung iklim ekonomi agar lebih bagus adalah rezim pajak yang memberi kepastian hukum dan berorientasi jangka panjang. Dengan begitu, kebijakan pajak dapat diprediksi dan dikalkulasi oleh pebisnis sehingga tak ada kebijakan yang bersifat mengejutkan dan untuk tujuan jangka pendek. Menurutnya, kepastian hukum pajak lebih prioritas ketimbang pemberian insentif pajak di tengah ketidakpastian. Hal itu dapat dicapai dengan membangun sistem pajak berdasarkan kepatuhan kooperatif yang berbasis transparansi.
Langkah pemerintah mati-matian mengejar penerimaan pajak berpeluang memberi efek negatif bagi ekonomi Indonesia. Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan terbitnya PP No 36/2017 akan mengganggu ekonomi karena membuat masyarakat menahan belanja. Sebab, semakin banyak belanja harta, pelaporan SPT harus lebih tertib. Kalangan korporasi pun bakal memilih menahan ekspansi. Efek negatif lainnya adalah semakin besarnya penghindaran pajak karena semakin agresif aparat pajak, semakin marak transaksi di bawah tangan (underground economy).
Reformasi perpajakan menjadi fokus pemerintah sejak 2016. Tim Reformasi Perpajakan pun sudah dibentuk pada tahun itu, namun hingga saat ini realisasinya belum terlihat. Karena itu, pengusaha menganggap janji reformasi pajak masih menjadi wacana dan janji-janji manis. Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani, reformasi perpajakan harus bisa menghasilkan kinerja kantor pajak yang lebih tertib sehingga terjadi asas fairness dan keadilan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.