JAKARTA, DDTCNews – Keinginan Indonesia segera merealisasikan pertukaran data pajak secara otomatis dengan negara-negara OECD nampaknya bakal terganjal. Kabar tersebut menjadi topik utama beberapa media nasional pagi ini, Jumat (14/7).
Hasil asesmen pertama OECD menyebutkan Indonesia masih masuk dalam kategori negara partially compliance. Kategori tersebut masuk dalam rating yang kurang baik dan konsekuensinya tidak hanya mengancam keikutsertaan dalam AEoI, tapi juga akan dikenakan sanksi dari negara-negara G20.
Salah satu syarat yang belum dipenuhi adalah akses data hingga pemilik sesungguhnya atau beneficial owner di semua entitias atau perusahaan. Padahal, OECD mensyaratkan informasi hingga beneficial ownership harus bisa diakses otoritas pajak manapun dalam pertukaran informasi.
Berita lainnya mengenai pemerintah yang akan segera merampungkan revisi aturan CFC dan Singapura yang meminta negosiasi ulang perjanjian pajak terkait double tax agreement (DTA). Berikut ulasan ringkas beritanya:
Kementerian Keuangan (Kemkeu) merampungkan revisi aturan terkait perlakuan penghasilan dari perusahaan terkendali di luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak Indonesia (Controlled Foreign Company/CFC). Aturan yang direvisi yakni Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 256/pmk.03/2008. Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Suryo Utomo mengatakan dalam beberapa pekan ke depan, aturan tersebut akan diberlakukan.
Otoritas pajak Singapura meminta Indonesia untuk melakukan renegosiasi tax treaty atau perjanjian pajak antarkedua negara, khususnya mengenai double tax agreement (DTA) atau pajak berganda dengan Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Indonesia sendiri akan meninjau ulang seluruh treaty dengan negara-negara yang memiliki kerja sama perpajakan dengan Indonesia termasuk Singapura. Alasan Singapura meminta hal ini di-update agar Singapura bisa semakin meningkatkan investasinya di Indonesia sehingga pembaruan ini bisa memberikan perlindungan bagi para investor Singapura.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengoreksi perkiraan kekurangan (shortfall) penerimaan pajak dari semula Rp50 triliun menjadi Rp30 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (R-APBNP) 2017. Artinya, ada sekitar Rp20 triliun penerimaan pajak yang akan digenjot Sri Mulyani hingga akhir tahun nanti.  Menurutnya, peningkatan penerimaan pajak tersebut akan dilakukan dengan cara menyisir kembali kepatuhan dari wajib pajak dari seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia.Â
Ditektorat Jenderal (Ditjen) Pajak memastikan petani tebu yang beromzet kurang dari Rp4,8 miliar tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 10%. Oleh karena itu, mereka segera mengusulkan penyusunan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menegaskan petani tebu tidak masuk kategori Pengusaha Kena Pajak. Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan keputusan itu merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dengan perwakilan petani tebu.Â
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pelaksanaan APBN pada semester I-2017 menunjukkan kinerja baik dibandingkan periode sama tahun lalu, baik dari sisi pendapatan, belanja dan pembiayaan. Sri Mulyani menjelaskan realisasi penerimaan perpajakan dalam periode ini tumbuh sebesar 9,6% dibandingkan semester I-2016 yang tumbuh negatif 2,5%. Dengan demikian, defisit anggaran hingga semester I-2017 tercatat sebesar 1,29% terhadap PDB atau senilai Rp175,1 triliun.  (Amu)