Ilustrasi.
PARIS, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menilai negara berkembang dapat meningkatkan penerimaan pajak melalui pengenaan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil dan pemangkasan subsidi energi.
Dalam laporan berjudul Taxing Energy Use for Sustainable Development, OECD mengungkapkan pengenaan pajak atas penggunaan bahan bakar fosil seperti pajak karbon (carbon tax) tidak hanya meningkatkan penerimaan, tetapi juga mampu memangkas output emisi dan polusi.
"Dari 15 negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang dikaji, ditemukan skema pengenaan pajak karbon yang baik ternyata mampu memperkuat potensi dan mobilisasi penerimaan domestik," tulis OECD dalam keterangan resminya, dikutip pada Selasa (26/1/2021).
Secara rata-rata, OECD mencatat penerimaan pajak yang dikumpulkan oleh negara yang menerapkan pajak karbon bisa mencapai 1% dari PDB. Estimasi penerimaan itu diperoleh jika setiap yurisdiksi mengenakan pajak karbon dengan tarif senilai EUR30 atau Rp514.000 atas setiap ton karbon dioksida.
Pengenaan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil sekaligus reformasi subsidi energi dinilai sebagai kunci untuk mencapai 3 tujuan besar, yakni dekarbonisasi, mobilisasi penerimaan domestik, dan peningkatan akses terhadap sumber energi yang terjangkau.
Negara berkembang yang saat ini mengalami tekanan penerimaan pajak akibat pandemi Covid-19, menurut OECD, memiliki ruang yang cukup besar untuk memulai pengenaan pajak karbon. Adapun pengenaan itu sepanjang diimbangi dengan stimulus kepada masyarakat kelas bawah.
Meski demikian, OECD mencatat masih terdapat banyak kelemahan dalam penerapan pajak atas pemanfaatan bahan bakar fosil yang diterapkan oleh 15 negara berkembang. OECD mencatat 4 dari 15 negara yang dikaji masih memiliki belanja subsidi energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan penerimaan pajak atas penggunaan bahan bakar fosil yang diterima.
Menurut OECD, subsidi energi yang diberikan pemerintah hanya menguntungkan konsumen yang kaya. Dengan demikian, diperlukan desain pajak sekaligus subsidi yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan daya jangkau masyarakat terhadap energi. Lebih lanjut, OECD juga mencatat masih terdapat 83% potensi pajak atas bahan bakar fosil yang masih belum dipajaki.
Namun, OECD juga mencatat 5 dari 15 negara yang dikaji sudah sama sekali tidak memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi. Perkembangan pemanfaatan sumber energi terbarukan seperti angin dan solar energy juga tercatat makin besar. Hanya Maroko dan Filipina yang masih memanfaatkan batu bara sebagai sumber energi listrik secara ekstensif.
Adapun yurisdiksi yang dikaji oleh OECD pada laporan ini antara lain Pantai Gading, Mesir, Ghana, Maroko, Nigeria, Uganda, Filipina, Sri Lanka, Kosta Rika, Republik Dominika, Ekuador, Guatemala, Jamaika, dan Uruguay. (kaw)