JAKARTA, DDTCNews – Reformasi pajak membutuhkan suatu paradigma baru berupa kerangka kepatuhan pajak yang berbasis enhanced relationship atau sering disebut cooperative compliance. Paradigma ini dinilai tepat digunakan untuk meredesain sistem pajak guna menjamin kesinambungan penerimaan sekaligus meminimalkan sengketa.
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan paradigma cooperative compliance tersebut adalah juga bentuk adaptasi pokok-pokok reformasi perpajakan yang meliputi penguatan lembaga, sinergisitas dan komunikasi antarinstitusi, dan simplifikasi peraturan pajak, terhadap dinamika perubahan arena pajak dan tekanan situasi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih.
"Paradigma baru cooperative compliance ini mensyaratkan adanya hubungan yang dibangun atas adanya transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara wajib pajak, otoritas pajak, dan konsultan pajak,” ujarnya dalam diskusi perpajakan yang digelar Ikatan Akuntan Indonesia di Jakarta, Senin (9/1).
Darussalam menjelaskan dengan paradigma baru itu pula, isu pajak yang berpotensi menjadi sengketa dapat diidentifikasi dan didiskusikan sebelum menjadi pokok sengketa, atau dengan kata lain, sengketa pajak dapat diselesaikan sejak dini. Paradigma kepatuhan pajak yang kooperatif ini juga telah diaplikasikan hampir di 20 negara, seperti di Australia, Belanda, Inggris, Polandia hingga Rusia.
Bagi wajib pajak, sambungnya, kerangka baru ini memberikan manfaat antara lain diperolehnya kepastian, berkurangnya biaya kepatuhan, manajemen risiko yang lebih terukur dan mudah, proses pemeriksaan lebih mudah dan nyaman dijalankan, adanya keterbukaan yang mengakibatkan kesepakatan yang akuntabel lebih mudah dijalankan serta manfaat dari tidak munculnya risiko reputasi.
Di sisi lain, lanjut Darussalam, otoritas pajak juga bisa mendapatkan berbagai manfaat, antara lain pemahaman atas bisnis dan situasi wajib pajak dengan lebih baik, kepastian, mendorong otoritas pajak untuk fokus pada kasus-kasus yang berisiko tinggi, alokasi sumber daya manusia pada saat pemeriksaan akan jauh lebih baik, serta mengurangi sengketa di tingkat banding.
"Karena itu, cooperative compliance memungkinkan pemungutan pajak yang lebih efisien dalam situasi sumber daya yang terbatas, karena berorientasi win-win solution. Hal ini juga memungkinkan wajib pajak membuat keputusan bisnis yang cepat serta beban pemeriksaan yang berkurang, sehingga kepatuhan sukarela meningkat," kata Penasihat Tim Reformasi Perpajakan RI ini.
10 ELEMEN
Akan tetapi, Darussalam mengingatkan, paradigma cooperative compliance ini pada hakikatnya juga harus mempertimbangkan beberapa elemen lain. Paling tidak terdapat 10 elemen yang dibutuhkan untuk menyukseskan penerapan paradigma tersebut.
Pertama, salah satu penyebab terjadinya sengketa adalah minimnya partisipasi para pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan dan merancang hukum pajak. Proses perumusan yang transparan dan partisipatif serta didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan ahli-ahli pajak akan menjamin output yang ideal dan mendapatkan akseptabilitas publik.
Kedua, targetting penerimaan pajak, siapa dan bagaimana target ditetapkan memainkan peranan penting. Pemerintah, sebagai pihak yang menentukan target haruslah mampu memproyeksikan penerimaan pajak yang ideal. Pihak legislatif juga harus memiliki kemampuan untuk menguji feasibility target tersebut melalui perdebatan yang berbobot dan penuh perhitungan. Penentuan target pajak setidaknya harus melibatkan institusi yang bertugas dalam menyusun kebijakan dan administrasi pajak sehingga terbentuk angka yang realistis.
Ketiga, obsesi untuk mencapai target atau menutupi shortfall hanya akan mendorong perspektif jangka pendek yang justru mendorong kerap terjadinya perubahan aturan pajak. Ketidakstabilan dan sistem pajak yang sulit diprediksi dapat berakibat pada timbulnya risiko sengketa yang tidak terduga atau unintended tax consequence.
Dengan demikian, biaya pemungutan pajak dan biaya kepatuhan meningkat sehingga sistem ekonomi menjadi tidak efisien. Kestabilan sistem pajak diperlukan agar tercipta kredibilitas, reputasi, hingga kepercayaan investor. Hal ini bukan berarti sistem pajak tidak responsif terhadap derasnya perubahan lanskap, namun perubahannya perlu dibuat gradual dengan melihat kepentingan dan proyeksi jangka panjang.
Keempat, dalam konteks administrasi diperlukan perubahan indikator pengukuran kinerja otoritas pajak yang tidak semata berorientasi penerimaan. Menurut Crandall (2010), sasaran strategis otoritas pajak mencakup upaya meningkatkan kepatuhan, produktivitas dan efisiensi pemungutan pajak, orientasi pelayanan, hingga menjamin bahwa uang pajak yang terkumpul dapat mencukupi belanja Pemerintah.
Oleh karena itu, indikator yang meliputi biaya administrasi pemungutan pajak, kepuasan wajib pajak atas pelayanan, cakupan sosialisasi pajak, efektivitas pemeriksaan hingga lama penyelesaian sengketa juga sama pentingnya.
Kelima, pemerintah sebaiknya berhenti bersikap kompulsif dan menghindari paradigma bahwa pengadilan pajak menjadi ‘gawang terakhir’ yang memutuskan sengketa. Prinsip think before act (of filing appeal) dalam National Litigation Policy yang dirumuskan oleh Ministry of Law and Justice, Pemerintah India di tahun 2010, bisa dijadikan rujukan.
Saat membuat keputusan untuk melanjutkan sengketa pajak ke ranah pengadilan, pemerintah harus melakukan peninjauan dan analisis biaya-manfaat. Hal tersebut juga mencakup pertimbangan untuk tidak mengajukan banding atas pokok sengketa yang sama dan berulang, serta sengketa yang bersifat fakta atau noninterpretatif.
Keenam, revisi UU KUP, UU PPh, dan UU PPN harus didesain secara jelas, detail, sederhana, dan berkepastian hukum, sehingga tidak terjadi ambiguitas, interpretasi yang beragam dan inkonsistensi dalam penerapannya. Selain itu, hukum tersebut harus diperjelas dalam panduan administrasi di lapangan untuk menghindari interpretasi yang berbasis atas diskresi individu.
Ketujuh, pengajuan keberatan dan banding adalah salah satu hak-hak wajib pajak yang mendasar. Adanya sanksi kenaikan sebesar 50% dari jumlah pajak yang disengketakan yang tidak dibayar jika keberatan ditolak serta sanksi kenaikan sebesar 100% jika banding ditolak.
Hal ini telah menghalangi upaya wajib pajak mencari keadilan serta mencederai aspek proporsionalitas dalam sistem pajak. Kewajiban tersebut mencerminkan adanya scare tactics agar wajib pajak membayar lebih dahulu jumlah pajak yang disengketakan untuk terhindar dari sisi sanksi kenaikan.
Kedelapan, khusus mengenai isu sengketa pajak, ada baiknya untuk mempertimbangkan suatu prosedur hukum dalam penyelesaian sengketa yang berada di luar ranah pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR).
Cara-cara seperti mediasi, konsultasi, dan sebagainya diharapkan dapat menciptakan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien serta efektif, maupun dapat mengurangi jumlah berkas banding dan gugatan di pengadilan pajak.
Kesembilan, penguatan kapasitas lembaga Pengadilan Pajak dan Komite Pengawas Perpajakan tax ombudsman sebagai lembaga yang turut berperan serta dalam menjamin hak-hak wajib pajak. Penguatan tersebut juga turut diiringi dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi.
Kesepuluh, pembenahan sistem pajak di Indonesia kerap melupakan dua prasyarat mendasar yaitu: edukasi perpajakan dan aktivitas riset mengenai pajak (Murphy, 2015). Padahal keduanya merupakan awal dari perumusan kebijakan yang lebih kredibel serta dapat menjamin administrasi perpajakan yang lebih baik.
Pemerintah perlu membuka kerjasama dengan pihak akademisi maupun tax interemediaries (konsultan pajak, firma hukum, dan sebagainya) untuk mencetak lebih banyak ahli pajak sekaligus mengeliminasi informasi asimetri di sektor perpajakan. (Gfa/Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.