SIAPA tidak kenal “pajak”? Sejarah panjang pajak yang telah ada sejak ribuan tahun lamanya menjadi bukti bahwa pajak merupakan salah satu fenomena tertua yang terdapat dalam masyarakat (Grapperhaus, 2009). Bahkan, pajak telah banyak memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat kala itu. Mulai dari aspek ekonomi, sosial, politik, hingga pemerintahan.
Sebagai contoh, pada masa pemerintah Mesir Kuno, pemungutan pajak menjadi kegiatan utama dalam pemerintahan (Blankson, 2017). Sementara itu, di abad akhir pemerintahan Kekaisaran Romawi, pajak yang dipungut secara paksa digunakan untuk membiayai peperangan atau kepentingan kerajaan lainnya (Smith, 2015).
Begitu besarnya pengaruh pajak pada kehidupan masyarakat pun dibuktikan dengan terjadinya beberapa pemberontakan yang disebabkan oleh pemungutan pajak. Sebut saja peristiwa besar seperti Magna Carta, Revolusi Amerika, dan Revolusi Prancis tahun 1789. Ketiganya dapat dikatakan sebagai representasi dari peristiwa pemberontakan yang dipicu oleh pemungutan pajak yang dilakukan penguasa sekaligus menunjukkan pajak, disamping mempunyai peran positif yang besar, ternyata pernah juga menjadi bagian dari sejarah kelam dalam peradaban manusia.
Terlepas dari alasan, motivasi, serta segala masalah yang kerap mewarnai pemungutannya, Lymer dan Hasseldine berpendapat bahwa pajak telah diterapkan oleh berbagai negara di berbagai tempat dan waktu (Bordopoulus, 2015). Dengan segala perubahan dan tantangan yang dialaminya, pajak terus tumbuh dan mempunyai peran penting bagi suatu negara.
Penerapan pemungutan pajak secara masif di berbagai belahan dunia tidak dapat lepas dari peran pajak itu sendiri. Pajak merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan suatu bangsa. Menurut Blankson (2007), pajak dapat menjadi “alat” terbaik untuk membangun suatu pemerintahan. Tidak heran jika di sebagian besar negara pajak menjadi sumber penerimaan yang utama.
Di tataran global, misalnya. Berdasarkan hitungan dari International Centre for Tax and Development pada tahun 2016, kontribusi penerimaan pajak terhadap total pendapatan negara mencapai 80% di hampir setengah negara di dunia. Sementara itu, di sebagian negara lainnya kontribusi tersebut mencapai 50% (Ortiz-Ospina and Roser, 2016).
Hitungan tersebut bukanlah isapan jempol semata. Pada 2018, Eurostat sebagai lembaga statistik untuk negara Uni Eropa, merilis data yang memperlihatkan bahwa penerimaan pajak (termasuk kontribusi sosial) di negara Uni Eropa menyumbang 89,4% dari total penerimaan pemerintah (Eurostat, 2018).
Bukti statistik di atas menunjukkan bahwa adagium pajak sebagai jantung dan urat nadi penerimaan negara dan pembangunan bukanlah tak beralasan. Pajak, sebagaimana disebutkan Frecknall-Hughes (2020), diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan layanan publik, melakukan redistribusi kekayaan, dan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Argumen tersebut pula yang mengantarkan paradigma pajak sebagai fungsi budgetair. Namun, sepatutnya dipahami pula bahwa keberadaan pajak tidak hanya dimaknai sebagai kendaraan untuk mendongkrak penerimaan (budgetair), tetapi juga berfungsi sebagai instrumen pengatur (regulerend) kebijakan suatu negara.
Lihat saja, bagaimana peran pajak dalam menghadapi dampak wabah Covid-19 saat ini. Berbagai negara bergerak cepat dalam memberikan insentif pajak sebagai bagian dari kebijakan regularend untuk mengurangi dampak Covid-19. Terhitung, per 29 Mei 2020, sebanyak 138 negara dan yurisdiksi mengandalkan insentif pajak untuk merespons dampak wabah Covid-19. Fakta ini, menjadi bukti bahwa pajak hadir untuk bahu membahu bersama semua pihak dan masyarakat dalam menghadapi Covid-19.
Kontribusi Pajak di Indonesia
Tidak terkecuali di Indonesia. Pajak memegang peranan penting dalam sejarah bangsa Indonesia karena merupakan tulang punggung dalam membiayai pembangunan negara. Karena pentingnya peran pajak, Radjiman Widioningrat, yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), mengusulkan agar pemungutan pajak harus diatur hukum.
Usulan tersebut kemudian muncul dalam “Rancangan UUD Kedua” yang disampaikan pada tanggal 14 Juli 1945 pada Bab VII Hal Keuangan Pasal 23 pada butir kedua yang berbunyi: “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang”. Momen inilah yang menjadi cikal bakal ditetapkannya Hari Pajak pada tanggal 14 Juli berdasarkan KEP- 313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017.
Saat ini, peran penting pajak dapat dilihat dari besarnya kontribusi penerimaan pajak terhadap pendapatan negara setiap tahunnya. Sebagaimana Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Outlook APBN 2018, realisasi penerimaan pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak berkontribusi sebesar 67,57% dari total realisasi pendapatan negara untuk tahun 2018. Angka ini kemudian naik pada tahun 2019 menjadi 68,06% (APBN KiTa, 2020).
Tidak berhenti sampai di situ, peran penting pajak bagi Indonesia pun semakin terlihat tatkala negara ini menghadapi wabah Covid-19. Untuk mencegah datangnya resesi ekonomi global yang bisa lebih parah dari krisis keuangan global 2008 (IMF, 2020), Pemerintah Indonesia merespons cepat dengan mengeluarkan berbagai instrumen pajak.
Mulai dari kelonggaran administrasi, relaksasi withholding tax, hingga pembebasan pajak atas barang dan jasa tertentu. “Hadirnya” pajak dalam melawan pandemi Covid-19 ini pun kian membuktikan bahwa pajak menjadi solusi penting terhadap kondisi yang extraordinary.
Penjelasan di atas menggambarkan betapa krusialnya pajak bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika dikatakan pajak memiliki kontribusi besar dalam membangun masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri. Pasalnya, tanpa pajak yang kuat, mustahil negara ini dapat menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Ini sebagaimana dikutip dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani usai menandatangani multilateral instrument on tax treaty (MLI) di kantor OECD Paris, Prancis, tahun 2017 lalu. “Tanpa pajak kita tidak mampu menjaga keutuhan dan kemerdekaan kita dan tidak mungkin menciptakan Indonesia yang maju, adil dan Makmur, serta bermartabat.” (Kemenkeu, 2017).
Singkatnya, untuk mencapai kemajuan Indonesia, penguatan pajak di segala bidangnya menjadi syarat mutlak. Namun, penguatan itu hanya dapat terwujud apabila terdapat sinergi atau kerjasama berkelanjutan dari seluruh komponen bangsa Indonesia. Oleh karena itu, memanfaatkan momentum Hari Pajak yang jatuh pada tanggal 14 Juli 2020 ini, mari kita bangkit bersama pajak dengan semangat gotong royong kita ciptakan pajak yang kuat untuk Indonesia maju. Selamat Hari Pajak! Semoga terwujud Pajak Kuat, Indonesia Maju.