Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) sempat melakukan piloting atau uji coba coretax administration system dengan melibatkan wajib pajak terpilih. Topik ini cukup mendapat sorotan netizen pada April 2024.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan uji coba diperlukan guna memastikan coretax administration system siap digunakan secara luas oleh seluruh wajib pajak.
"Saya perlu semacam space untuk mencoba sistem itu sebelum kita gunakan secara massal. Mungkin sebagian dari Bapak Ibu sekalian mohon kerelaannya untuk kami tunjuk untuk mencoba menggunakan sebelum betul-betul diimplementasikan," kata Suryo saat itu.
Kala itu, Suryo mengatakan uji coba coretax administration system nantinya tidak hanya melibatkan wajib pajak yang terdaftar di Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP Jakarta Khusus, melainkan juga wajib pajak dari KPP Madya dan KPP Pratama.
Selain bahasan tentang piloting coretax system, ada pula pemberitaan tentang penghitungan tarif efektif rata-rata (TER) yang juga menyasar bonus pegawai, reorganisasi kantor wilayah (kanwil) LTO dan kanwil khusus, aturan teknis opsen, dan rencana pembentukan badan penerimaan negara.
Ditjen Pajak (DJP) menyatakan pegawai tetap yang menerima bonus juga bakal dikenakan PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan yang lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Hal ini menjadi banyak pembahasan pasca berlakunya TER pajak penghasilan (PPh) Pasal 21.
PPh Pasal 21 yang dipotong berdasarkan tarif efektif rata-rata (TER) pada saat bulan diterimanya THR atau bonus memang akan lebih tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini terjadi karena penghasilan yang diterima pegawai menjadi lebih besar, yakni mencakup gaji dan THR atau bonus.
Meski demikian, mekanisme TER tidak akan menambah beban pajak dalam 1 tahun. Alasannya, pemberi kerja akan tetap menghitung kembali jumlah pajak yang terutang dalam setahun menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh pada masa pajak Desember.
DJP berencana melakukan reorganisasi atas Kanwil DJP Wajib Pajak Besar (LTO) dan Kanwil DJP Jakarta Khusus.
Suryo Utomo mengatakan komposisi kedua kanwil tersebut selaku pengelola wajib pajak besar akan disusun ulang. Setelah itu, wajib pajak yang tergabung dalam suatu grup akan ditempatkan dalam 1 KPP yang sama.
"Kanwil LTO dan Kanwil Khusus mau saya kawinkan, lalu diceraikan. Kanwil Khusus itu ada 9 KPP, LTO ada 4 KPP, gede-gede semua isinya. Nah, ini saya mau kumpulkan, ambil batangnya. Ini wajib pajak kelompok usahanya siapa, saya kumpulkan," katanya.
Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) mendorong pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk berkoordinasi terkait dengan pemungutan opsen pada tahun depan.
Analis Keuangan Pusat dan Daerah DJPK Guruh Panca Nugraha mengatakan terdapat beragam aspek terkait dengan opsen yang harus dikoordinasikan oleh pemda-pemda dan diatur lebih lanjut melalui peraturan kepala daerah.
Guruh menuturkan terdapat aspek teknis dari pengenaan opsen perlu didetailkan. Hal dimaksud contohnya antara lain mengenai pendataan, pemungutan, pencatatan, penagihan, restitusi, rekonsiliasi, dan lain sebagainya.
Pemerintah memasukkan rencana pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara dalam dokumen rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025.
Dalam dokumen tersebut, pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara menjadi upaya pemerintah dalam membenahi kelembagaan perpajakan. Harapannya, penerimaan perpajakan dapat meningkat lebih besar lagi ke depannya.
Dokumen rancangan awal RKP 2025 juga menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan rasio pajak (tax ratio) sebesar 11,2%-12% pada 2025. Angka tersebut lebih tinggi dari target tax ratio pada 2024 sebesar 10,12%.
Pemerintah pun menyiapkan 6 strategi untuk mencapai target tax ratio pada tahun depan. Dalam hal ini, pembenahan kelembagaan perpajakan melalui pembentukan Badan Otorita Penerimaan Negara menjadi salah satunya. (sap)