PAJAK menjadi salah satu komponen penting dalam mencapai target pembangunan bangsa. Sebab, pajak menjadi kontributor utama dalam penerimaan negara. Penerimaan tersebut di antaranya akan dialokasikan untuk menyediakan layanan publik.
Melalui pajak, masyarakat sejatinya bergotong royong untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam penyediaan layanan publik. Berbicara mengenai pajak, terdapat dua istilah yang kerap muncul, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Lantas, apa itu pajak pusat dan pajak daerah?
PAJAK pusat merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut pajak yang pengelolaannya menjadi wewenang pemerintah pusat melalui Ditjen Pajak (DJP).
Pajak pusat juga dapat diartikan sebagai pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat melalui DJP dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin negara dan pembangunan yang tercakup dalam APBN (Khalimi & Khalimi, 2020).
Ketentuan pemungutan pajak pusat di antaranya mengacu pada Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Merujuk Pasal 1 angka 1 UU KUP, pajak adalah:
“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, yaitu:
Pajak pusat yang ada di Indonesia saat ini antara lain: Pajak Penghasilan (PPh); Pajak Pertambahan Nilai (PPN); Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM); Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan, dan Sektor Lainnya; Bea Materai; dan pajak karbon.
KETENTUAN pemungutan pajak daerah di antaranya mengacu pada Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU HKPD, pajak daerah adalah:
“Kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Hal ini berarti wewenang pemungutan pajak daerah berada pada pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pemerintah daerah yang terakumulasi dalam pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD.
Secara lebih terperinci, berdasarkan pada Pasal 4 UU HKPD, pajak daerah diklasifikasikan kembali menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota. Secara ringkas, perincian dari jenis-jenis pajak daerah dapat disimak pada tabel berikut:
Kendati jenis pajak daerah beragam, Pasal 6 ayat (2) UU HKPD mengamanatkan bahwa pemerintah daerah dapat tidak memungut suatu jenis pajak yang potensinya dianggap kurang memadai dan/atau pemerintah daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. (rig)