JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah akhirnya mengubah aturan batasan minimal saldo yang wajib dilaporkan secara otomatis dari lembaga keuangan kepada otoritas pajak menjadi minimal Rp1 miliar. Berita tersebut menjadi topik utama sejumlah media nasional pagi ini, Kamis (8/6).
Sebelumnya, melalui PMK Nomor 70/2017, pemerintah menetapkan batas minimal sebesar Rp200 juta. Dengan pertimbangan data rekening perbankan, data perpajakan termasuk dari program amnesti pajak, serta data pelaku usaha, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan batas minimum saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengimbau agar masyarakat tidak perlu resah dan khawatir karena penyampaian informasi keuangan tersebut tidak berarti uang simpanan nasabah akan langsung dikenakan pajak. Tujuan pelaporan informasi keuangan ini untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap sesuai standar internasional.Â
Berita lainnya datang dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sasaran jumlah rekening yang bisa diintip DJP menurun akibat meningkatnya batasan saldo minimal wajib lapor dan kritik yang dari anggota DPR. Berikut ulasan ringkas beritanya:
- Batas Sasaran Naik, Jumlah Rekening yang Bisa Diintip Menurun
Dengan perubahan batasan minimum menjadi Rp1 miliar, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan menjadi sekitar 496.000 rekening atau cuma 0,25% dari total rekening di perbankan saat ini. Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per April 2017 menunjukkan rekening simpanan dengan saldo lebih dari Rp1 miliar memiliki nilai 65% dari total simpanan diperbankan dalam negeri. Sebelumnya, dengan batasan Rp200 juta, Menkeu menyatakan jumlah rekening yang memiliki saldo minimal Rp200 juta sebanyak 2,3 juta rekening atau 1,14%.
- Ini Kritik DPR Terhadap Batasan Dana Rekening yang Terlalu Rendah
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno menilai dengan batasan yang terlalu rendah sebelumnya, akan memunculkan kesan bahwa pemerintah terlalu terburu-buru dan membabi-buta dalam mengejar penerimaan negara dari sektor pajak. Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam berharap pemerintah fokus saja mengejar wajib pajak yang memiliki pendapatan dan saldo rekening yang besar.
- DJPÂ Usul Penjara 5 Tahun Bagi Pembocor Data Wajib Pajak
DJP mengusulkan hukuman penjara lima tahun bagi siapa saja yang membocorkan data wajib pajak. Usulan ini untuk memberi jaminan keamanan data wajib pajak. Perppu No.1/2017 memberi keistimewaan bagi DJPÂ untuk dapat mengorek data rekening wajib pajak. Maka dari itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Ken Dwijugiasteadi menilai perlu adanya sanksi tegas bagi pelaku yang membocorkan data wajib pajak. Saat ini, sesuai dengan Pasal 41 UU KUP, sanksi pidana kurungan paling lama setahun dan denda paling banyak Rp4 juta bagi pejabat yang tidak memenuhi kewajiban merahasiakan informasi tersebut.
- Sengketa Pajak Tercatat Terus Meningkat Tiap Tahun
Konsultan dan pengamat pajak dari DDTC David Hamzah Damian menyebut keprihatinnya terkait dengan perselisihan atau perbedaan hasil perhitungan besaran pajak oleh wajib pajak dan angka resmi yang dikeluarkan kantor pajak yang kerap kali berbeda. Akibatnya jumlah sengketa pajak terus tumbuh tiap tahunnya. Menurut David, jumlah sengketa pajak yang terdaftar pada pengadilan pajak tahun 2014 melonjak naik 29,37% menjadi 10.866 perkara dibandingkan tahun 2013. Sementara, jumlah perkara yang diputuskan pengadilan pajak tercatat sebanyak 8.845 atau naik 19,92%.
- Pemerintah Diminta Pungut Cukai Panti Pijat dan Spa
Pemerintah didesak untuk memperluas obyek barang kena cukai. Salah satu bentuk ekstensifikasi cukai yang diminta untuk diterapkan adalah pengenaan cukai atas jasa panti pijat dan spa. Gagasan ini disampaikan oleh anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi PAN, Nasril Bahar. Menurutnya, penerapan cukai untuk panti pijat dan bisnis spa sejalan dengan upaya pemerintah untuk melakukan reformasi perpajakan dan kepabeanan dan cukai. Nasril mengungkapkan, Indonesia perlu meniru Thailand yang menerapkan cukai untuk spa.Â
- DPR Minta Panti Pijat Kena Cukai, Ini Jawaban Pemerintah
Menanggapi ide tersebut, Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi menyebutkan ide pengenaan cukai untuk panti pijat dan spa bisa dipertimbangkan. Hanya saja mengacu pada Undang-Undang Kepabeanan dan Cukai nomor 39 pasal 2 disebutkan bahwa obyek barang kena cukai hanya sebatas produk atau barang yang berwujud. Pengenaan cukai belum menyentuh sektor jasa seperti kesehatan atau dalam hal ini panti pijat dan spa.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi ikut buka suara. Menurutnya, industri jasa kesehatan nantinya bisa dipertimbangkan untuk dikenai cukai melalui revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Nantinya, pajak untuk panti pijat dan spa akan digolongkan sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). (Gfa)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.