Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah membuat kajian baru dan melakukan konsultasi dengan parlemen apabila ingin menunda implementasi tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%.
Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), tarif PPN akan naik dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022.
"Badan Kebijakan Fiskal (BKF) harus membuat kajian yang merupakan alasan penundaan, termasuk di dalamnya dampak terhadap fiskal dan makroekonomi," kata Andreas, Jumat (11/3/2022).
Andreas mengatakan BKF Kementerian Keuangan perlu memikirkan keberlangsungan fiskal untuk jangka pendek hingga menengah. Sebab, dia mengingatkan bahwa tahun ini merupakan batas akhir pemerintah melonggarkan defisit APBN lebih dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kemudian pada APBN Tahun Anggaran 2023 defisit harus berada di bawah 3% terhadap PDB. Artinya, pemerintah disadari memang perlu menggenjot penerimaan pajak agar defisit bisa ditekan.
"Makanya karena tahun ini batas akhir, butuh waktu transisi bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan di tahun ini, salah satunya PPN," ujarnya.
Kata Andreas, memang kenaikan tarif PPN diyakini menjadi salah satu kebijakan yang paling berpotensi meningkatkan penerimaan pajak.
Sebagai gambaran, pada tahun lalu realisasi penerimaan PPN senilai Rp551Â triliun. Apabila tarif PPN pada tahun ini naik sebanyak 1% maka ada potensi tambahan penerimaan pajak atas konsumsi tersebut sekitar Rp55,1 triliun.
Sementara itu, Andreas juga menilai jika tarif PPN batal naik, program-program perlindungan sosial akan terimbas. Potensi penerimaan negara akan makin rendah, sementara belanja perlindungan sosial sulit dikurangi, bahkan bisa bertambah jika kasus Covid-19 memburuk.
"Sehingga pada akhirnya juga akan berdampak pada indikator makro ekonomi lainnya, bisa ke pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah. Tax ratio juga kemungkinan di bawah proyeksi," ujarnya. Â
Namun demikian, Andreas juga mengingatkan bahwa pemerintah harus buka mata melihat kondisi perekonomian dalam negeri. Apalagi saat ini harga minyak mentah sedang naik, inflasi pun berpotensi melonjak, dan masyarakat masuk Bulan Ramadhan pada awal April 2022.
Di sisi lain, Andreas mengungkapkan besaran kenaikan tarif PPN yang tertuang dalam UU HPP sebenarnya lebih rendah dari usulan awal. Saat UU HPP masih bernama Revisi UU KUP, pemerintah mengusulkan kenaikan tarif sebesar 12%.
Namun demikian, parlemen menolaknya sehingga tarif PPN disepakati sebesar 11% mulai 1 April 2022, dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
"Waktu itu kita minta turun karena mempertimbangkan kondisi ekonomi akibat pandemi, itu juga awalnya dari kajian BKF. Maka sekarang ini dengan dinamika yang terus berlangsung ada varian Omicron, perang Rusia-Ukraina harus dibuat kajiannya juga kalau mau ditunda," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pemerintah tetap memperhatikan kondisi perekonomian terkini sebelum tarif PPN naik jadi 11%.
"Tim sedang melakukan pembahasan untuk menyiapkan aturan turunan dan bagaimana pelaksanaanya. Mungkin di dalamnya juga pasti melakukan analisa. Karena kalau kondisi terkini, perhitungan inflasi, makro, dan sebagainya lebih kepada BKF," kata Neilmaldrin. (sap)