Presiden Amerika Serikat Joe Biden. (Foto: Matt Slocum/AP/usatoday.com)
PEKAN lalu, Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) menerbitkan dokumen berjudul The Made in America Tax Plan. Dokumen ini berisi sejumlah rencana kebijakan perpajakan yang akan dilakukan Presiden AS Joe Biden selama masa pemerintahannya.
Dokumen itu menyebut Pemerintah AS akan menciptakan iklim yang kompetitif, menghapuskan praktik profit shifting, mencegah perang tarif pajak, dan menciptakan kebijakan perpajakan yang mendukung perkembangan energi terbarukan serta ramah lingkungan.
Dokumen tersebut juga menyoroti tarif pajak efektif korporasi multinasional AS yang kini rata-rata 7,8%. Juga kebijakan Tax Cut and Jobs Act (TCJA) pada masa Presiden Trump yang menggerus setoran pajak korporasi dari 2% menjadi tinggal 1% dari produk domestik bruto.
Untuk itu, ada 7 kebijakan yang disiapkan guna menekan penghindaran pajak dan menciptakan level playing field perusahaan. Pertama, PPh badan naik dari 21% ke 28%. Kedua, ketentuan global minimum tax diperkuat. Ketiga, tarif pajak minimum global didorong guna menekan profit shifting.
Keempat, book income menjadi 15% bagi perusahaan dengan laba tinggi. Kelima, meningkatkan penindakan penghindaran pajak. Keenam, insentif laba intangible asset digantikan insentif riset. Ketujuh, kebijakan pajak digunakan untuk mendorong pemanfaatan energi ramah lingkungan.
Ke-7 poin ini juga merupakan perwujudan janji Biden pada kampanye Pemilihan Presiden AS tahun lalu, yang memang cenderung ekspansif dengan menaikkan tarif pajak. Kita tahu, kampanye kebijakan pajak sudah menjadi menu wajib pada setiap Pemilu Presiden AS, juga negara maju lain.
Berkebalikan dengan kebijakan Trump, Biden menekankan perlunya sistem pajak yang lebih adil. Sebagai pengingat, Trump cenderung merelaksasi berbagai aspek kebijakan pajak yang selama ini justru membuat lemahnya daya saing AS.
Biden menyoroti pula celah-celah kebijakan dalam TCJA yang masih menyuburkan praktik penghindaran pajak. Tidak hanya itu. AS di bawah Biden juga kembali menyiratkan komitmennya bagi kerja sama multilateral di bidang pajak, khususnya digital.
Untuk itu, seiring dengan berubahnya sikap politik AS ini, Indonesia perlu bersikap lebih agresif untuk mendorong terjadinya konsensus global pemajakan ekonomi digital yang ditargetkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) rampung paruh tahun ini.
Dengan konsensus global tersebut, akan ada titik terang bagi Indonesia untuk menggali PPh korporasi multinasional ekonomi digital seperti Google, Youtube, Facebook, Spotify, Netflix, Amazon, Apple—yang selama ini tidak masuk ke kas negara meski pembeli dan transaksinya terjadi di Indonesia.
Memang, perjalanan rencana kebijakan pajak tersebut masih harus diuji. Boleh jadi, penolakan CEO-CEO korporasi besar AS terhadap kebijakan pajak itu seperti diungkap survei Business Roundtable akan menjadi ganjalan besar bagi perwujudan janji kampanye itu.
Begitu pula dengan masih menduanya sikap para politisi Partai Demokrat AS—partai asal Presiden Biden—yang mendominasi Kongres. Sebagian politisi berpandangan kenaikan tarif pajak korporasi dari 21% menjadi 28% berpotensi menghambat upaya pemulihan ekonomi AS saat ini.
Di sisi lain, Biden juga memerlukan dukungan Senat AS. Saat ini, Partai Demokrat mendominasi Kongres dengan 219 kursi, Partai Republik 211 kursi. Sementara di Senat, Partai Demokrat menguasai 48 kursi, Partai Republik 50 kursi, dan 2 anggota Senat yang independen.
Yang pasti, publik global menunggu langkah Biden. Juga Indonesia, terutama setelah International Monetary Fund untuk ketiga kalinya memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,3% tahun ini dari sebelumnya 4,8% dan 6,1%. Semua tergantung pada Biden.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.