PERSPEKTIF

Tax Amnesty, Salahkah?

Darussalam
Minggu, 19 Juni 2016 | 05.10 WIB
ddtc-loaderTax Amnesty, Salahkah?
Managing Partner DDTC

KONTROVERSI merupakan hal yang biasa dalam suatu kebijakan tax amnesty, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia yang lain. Walaupun kontroversial, sebagai suatu kebijakan, tax amnesty telah banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia, baik oleh negara maju maupun berkembang.

Sampai saat ini, sudah 31 negara menjalankan tax amnesty (Dubin, Graetz, Wide, 1992; Alm, 1998; Baer & Le Borgne, 2008; Malherbe, 2011). Bahkan Amerika Serikat, dari total 50 negara bagiannya, 90% atau 45 negara bagian pernah menerapkan tax amnesty.

Ada yang sukses dan tentu juga ada yang tidak berhasil. Lantas, ketika ada negara yang tidak berhasil, apakah kita menolak tax amnesty? Tentu tidak serta merta, justru dari negara yang gagal tersebut diambil pengalaman mengapa mereka gagal. Jadi, tidak ada yang aneh dalam diri tax amnesty. Ia merupakan bagian awal dari reformasi pajak secara menyeluruh, yang kemudian diikuti dengan reformasi UU PPh, PPN, dan KUP, untuk menuju babak baru pajak Indonesia.

Tax amnesty dipandang sebagai jalan keluar bagi wajib pajak (WP) yang selama ini belum patuh untuk menjadi patuh. Ketidakpatuhan jangan selalu dilekatkan dengan kesengajaan. Ketidakpatuhan bisa disebabkan berbagai hal: ketidaktahunan, implikasi masih terdapatnya beberapa ketentuan pajak yang tidak berkeadilan dan berkepastian hukum, atau "rejim" masa lalu yang membuat menjadi tidak patuh. 

Dengan tax amnesty, ke depan, WP tidak patuh bersama-sama dengan WP patuh akan dikenakan pajak secara adil, sehingga meningkatkan penerimaan pajak. Ini pendapat yang pernah dilontarkan oleh hakim konstitusi Jerman (Jacques Malherbe, 2010). Dengan demikian, tax amnesty justru memberikan keadilan karena beban pajak tidak dibebankan kepada WP yang itu-itu saja. Selain itu, tax amnesty juga hendak memangkas penumpang gelap (free rider) yang selama ini menikmati kue pembangunan tanpa mau bayar pajak.

Salah satu justifikasi pembenaran tax amnesty ketika di suatu negara sebagian besar WP-nya tidak patuh. Ini terjadi juga di Indonesia, di mana WP yang tidak patuh dalam menyampaikan surat pemberitahunan (SPT) Tahunan berkisar 40%-48% dalam 4 tahun terakhir. Angka itu dapat saja membengkak kalau tingkat ketidakpatuhan tersebut dikaitkan dengan kebenaran material.  

Namun kita juga tidak menutup mata, tax amnesty tentu juga dapat mengakibatkan ketidakpatuhan jika WP berharap ada lagi tax amnesty di masa yang akan datang. Untuk itu, perlu pernyataan tegas dari penguasa bahwa tax amnesty yang digulirkan adalah yang terakhir dan tidak akan pernah ada lagi tax amnesty jilid berikutnya (Torgler & Schaltegger, 2005).

Pada umumnya, pemberian tax amnesty memiliki empat tujuan pokok. Keempat tujuan tersebut adalah meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, meningkatkan kepatuhan pajak pada masa yang akan datang, mendorong repatriasi modal atau aset, dan transisi ke sistem perpajakan yang baru.

Pembenaran

DENGAN empat tujuan itu, paling tidak terdapat enam persyaratan yang harus diperhatikan agar tax amnesty berhasil dan dapat dibenarkan. 

Pertama, durasi tax amnesty dan slogan yang tegas. Untuk mendukung berhasilnya kebijakan tax amnesty, hal yang perlu ditekankan adalah durasi yang cukup disertai dengan pesan yang tegas kepada WP yang menjadi target. "Ikut tax amnesty atau awas jika tidak ikut dan ketahuan!" 

Saat ini, otoritas pajak mendapat momentum untuk memaksa WP target untuk ikut tax amnesty. Yaitu, pertukaran informasi data keuangan secara otomatis antar negara untuk tujuan pajak. Per 17 Juni 2016, sudah terdapat 101 negara yang berkomitmen untuk berbagi informasi keuangan, 55 negara di tahun 2017 dan 46 negara di tahun 2018.

Dalam konteks di atas, Vokhid Urinov (2015) memandang tax amnesty sebagai masa transisi menuju era keterbukaan informasi keuangan untuk tujuan pajak. Kita tidak bisa membayangkan kalau tidak ada tax amnesty, dengan tingkat ketidakpatuhan pajak sekitar 40%-48% seperti disebutkan di atas, seberapa banyak WP yang akan terjerat sanksi. Di sinilah perlunya uluran tangan pemerintah.

Momentum lain, rencana transformasi Ditjen Pajak menjadi lembaga yang semi independen langsung di bawah presiden. Adanya transformasi kelembagaan ini, menjadikan Ditjen Pajak mempunyai diskresi lebih dalam hal organisasi, sumber daya manusia, dan keuangan. Pesan yang harus disampaikan adalah pasca-transformasi kelembagaan ini, perilaku WP akan mudah terdeteksi.

Kedua, kelompok WP. Tax amnesty harus menyasar kepada semua WP, baik yang super kaya maupun yang dikategorikan sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Baik yang menaruh asetnya di dalam negeri maupun di luar negeri. Jadi, tax amnesty tidak hanya pro kepada segelintir WP saja.

Ketiga, fitur yang ditawarkan. Keberhasilan tax amnesty sangat tergantung dari jenis pajak, sanksi administrasi, sanksi pidana pajak yang diberikan ampunan. Selain itu, yang sangat penting adalah seberapa besar tarif uang tebusannya.

Perdebatan seberapa besar tarif yang diterapkan jangan sampai berdampak tax amnesty menjadi tidak laku, sehingga tax amnesty sebagai masa transisi menuju reformasi pajak secara keseluruhan justru tidak akan tercapai. Apalagi perdebatan tarif dibawa ke ranah keadilan maka jawabannya tidak akan kunjung selesai. Karena, dalam ranah kebijakan pajak sangat sulit untuk mencapai kebijakan yang sifatnya the best policy.

Keempat, manajemen data. Tanpa adanya pengelolaan data yang baik terkait data yang dihasilkan dari kebijakan tax amnesty, otoritas pajak akan kehilangan pendeteksi untuk mengawasi perilaku kepatuhan WP pasca-tax amnesty. Padahal, kepatuhan masa depan ini yang menjadi ukuran utama keberhasilan tax amnesty atau tidak.

Oleh karena itu, mengingat pentingnya manajemen data ini, dalam kebijakan tax amnesty harus terdapat ketentuan mengenai manajemen data yang terkait dengan tax amnesty. Lebih bagus lagi, apabila terdapat ketentuan penggunaan sebagian (sekian %) dari uang tebusan untuk mengelola data tersebut. Contoh negara yang menerapkan ketentuan ini adalah Filipina.

Kelima, sanksi tegas pasca-tax amnesty. Tanpa adanya sanksi yang tegas bagi WP target yang kembali kepada perilaku yang tidak patuh, pemerintah akan membuang kesempatan dalam mempertahankan tingkat kepatuhan pasca-tax amnesty.

Keenam, transparansi penggunaan uang pajak. Untuk membangun kepatuhan sukarela membayar pajak pasca-tax amnesty, diharuskan adanya transparansi penggunaan uang pajak (anggaran) serta alokasinya yang tepat sasaran dan berkeadilan. Tanpa itu, akan mendorong WP kembali menjadi tidak patuh.

Akhir kata, mengingat tujuan tax amnesty dan memperhatikan persyaratannya, UU tax amnesty akan menjadi suatu terobosan dalam memecahkan kebuntuan pencapaian penerimaan pajak yang minim selama ini. Jadi, tax amnesty tidak serta merta selalu di cap kebijakan yang tidak tepat. Justru sebaliknya, tax amnesty dapat berdampak positif bagi kesinambungan penerimaan pajak dalam jangka panjang untuk kesejahteraan bangsa dan negara. *

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.