Founder DDTC Darussalam dalam talk show Jendela Negeri TVRI, Selasa (3/12/2024).
JAKARTA, DDTCNews - Kenaikan tarif PPN dinilai menjadi momentum yang tepat untuk melaksanakan berbagai pembenahan dalam sistem pajak.
Founder DDTC Darussalam mengatakan polemik kenaikan tarif PPN pada dasarnya menandakan munculnya ruang diskusi publik yang luas dan dapat menjamin meaningful participation. Aspirasi publik mengenai kehati-hatian dalam mengalokasikan uang pajak beserta transparansi penggunaannya pun perlu menjadi perhatian pemerintah.
"Memang dalam konteks pajak ini transparansi yang sangat dibutuhkan. Masyarakat akan menuntut, ketika saya membayar pajak, saya dapat apa? Kenaikan tarif PPN ini dapat menjadi momentum [untuk perbaikan berbagai hal]," katanya dalam talk show Jendela Negeri TVRI, Selasa (3/12/2024).
Darussalam mengatakan terdapat beberapa aspek yang dapat dibenahi di tengah momentum kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Pertama, momentum untuk memperbarui kontrak fiskal.
Sudah saatnya narasi pemerintah atas penyediaan barang atau layanan publik kepada masyarakat selalu dikaitkan dengan kontribusi masyarakat melalui uang pajak. Selain untuk menghindari anggapan asosiatif antara belanja dengan pejabat publik atau institusi tertentu, keterkaitan yang jelas antara pembayaran pajak dengan ketersediaan layanan publik tertentu akan meningkatkan tax morale.
Lebih lanjut, kenaikan tarif PPN 12% harus diimbangi pula dengan suatu komitmen narasi publik yang mengedepankan kontrak fiskal.
"Kenaikan tarif PPN menjadi 12% harus dipertukarkan dengan suatu narasi bahwa pemilik negara kita adalah wajib pajak sebagai pemegang sahamnya," ujarnya.
Kedua, momentum untuk mendesain earmarking atas penerimaan yang dihasilkan dari penyesuaian tarif PPN. Ini adalah solusi yang baik sehingga atas dampak yang diterima oleh kelompok masyarakat tertentu, terdapat suatu komitmen anggaran untuk membantu mereka.
Mekanisme earmarking atas penerimaan PPN telah diterapkan di beberapa negara. Misal Italia yang mengalokasikan 38,5% dari penerimaan PPN untuk asuransi kesehatan, serta Ghana yang mengalokasikan 2,5% dari tarif PPN yang mencapai 17,5% untuk sektor kesehatan.
Indonesia dapat meniru negara lain dengan menerapkan mekanisme earmarking atas tambahan penerimaan dari kenaikan tarif pajak ini. Pada prosesnya, pemerintah dan DPR dapat bermusyawarah mengenai besaran earmarking beserta bentuknya.
"Tuntutan masyarakat adalah bahwa gunakanlah uang pajak dengan bijak," imbuhnya.
Ketiga, momentum untuk mendorong adanya sistem PPN di Indonesia agar lebih lebih netral dan berkepastian. Caranya dengan mengadopsi sistem restitusi PPN yang dijalankan secara cepat dan berkepastian.
Hal ini penting bagi para pelaku usaha mengingat sistem restitusi PPN di Indonesia relatif rumit. Laporan World Bank tentang B-Ready juga mengonfirmasinya, karena sebanyak 70% dari pelaku usaha di Indonesia enggan untuk mengajukan restitusi karena rumit. (sap)