PAJAK DAERAH (18)

Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

Hamida Amri Safarina
Senin, 28 September 2020 | 15.36 WIB
Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah

PEMUNGUTAN pajak yang terutang atas suatu transaksi yang dilakukan wajib pajak merupakan hal krusial, baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

Pengertian pemungutan yang diatur dalam Pasal 1 angka 49 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang, hingga penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya.

Pada artikel sebelumnya telah dibahas terkait ketentuan pemungutan pajak daerah yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Kemudian, pada artikel ini akan dibahas lebih lanjut terkait cara memungut pajak daerah tersebut.

Di Indonesia, terdapat tiga macam sistem pemungutan pajak, yaitu self assessment system, official assessment system, dan withholding system. Untuk pemungutan pajak daerah sendiri hanya menggunakan self assessment system dan official assessment system sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah (PP No. 55 Tahun 2016).

Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) sampai ayat (4) PP No. 55 Tahun 2016, jenis pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan kepada daerah terdiri atas pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, dan pajak air permukaan. Untuk pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pajak rokok dipungut pemerintah provinsi berdasarkan penghitungan wajib pajak sendiri.

Adapun tiga jenis pajak kabupetan/kota yang dipungut berdasarkan kepada daerah terdiri atas pajak reklame, pajak air tanah, dan pajak bumi dan bangunan perkotaan pedesaan (PBB-P2). Sementara itu, pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak sarang burung walet, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibayarkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan wajib pajak.

Berdasarkan Pasal 96 ayat (1) UU PDRD, pemungutan pajak dilarang diborongkan. Artinya, seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Namun, dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat kepada wajib pajak, atau penghimpunan data objek pajak dan subjek pajak.

Pajak daerah yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dapat dipungut dengan dua cara. Pertama, pajak dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan (official assessment system). Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis dan nota perhitungan.

Kedua, pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak (self assessment system). Dalam hal ini, pemerintah daerah memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD).

Dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dalam tiga situasi sebagai berikut.

  1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak.
  2. Jika SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secar atertulis tidak disampaikan pada waktunya.
  3. Saat kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi wajib pajak sehingga pajak yang terutang dihitung secara jabatan.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB pada poin (i) dan (ii) tersebut nantinya akan dikenakan sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan Pasal 97 ayat (2) UU PDRD.

Besaran bunga yang dikenakan ialah 2% per bulan dan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB.

Sementara itu, penalti yang diberikan pada wajib pajak jika tidak mengisi SPTPD hingga pajak terutang dihitung secara jabatan ialah dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan diberikan sebesar 25% dari pokok pajak dan ditambah juga sanksi bunga sebesar 2% per bulan maksimal hingga 24 bulan.  

Dalam penjelasan Pasal 97 ayat (1) UU PDRD, penetapan secara jabatan diartikan sebagai penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk.

Pemerintah daerah akan mengeluarkan ketetapan pajak daerah kurang bayar tambahan (SKDKBT) jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Jumlah kekurangan pajak ini dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

Namun, kenaikan tidak akan dikenakan jika wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. Selanjutnya, apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak maka pemerintah daerah dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN).

Lebih lanjut, Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU PDRD menyatakan tata cara penerbitan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan, SPTPD, SKPDKP, dan SKPDKBT serta tata cara pengisian dan penyampaian dokumen tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.