Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% sesuai dengan amanat UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) akan tetap dieksekusi. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (4/5/2023).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan sesuai dengan amanat UU HPP, kenaikan tarif PPN menjadi 12% harus dilakukan paling lambat 1 Januari 2025. Yon mengatakan amanat itu akan tetap dijalankan meskipun ada momentum tahun politik.
“[Tahun politik] pastilah [menjadi pertimbangan], tetapi tentu ada pembicaraan lebih lanjut kapan dinaikkan,” ujarnya.
Pengesahan UU HPP menjadi bagian dari upaya pemerintah mereformasi kebijakan pajak. Salah satu ruang lingkup UU HPP adalah kebijakan PPN. Melalui UU HPP, tarif PPN naik menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan akan kembali naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025.
Mengenai kebijakan tersebut, pemerintah sempat mengestimasi kenaikan tarif PPN sebesar 1 poin persen akan berkontribusi menambah penerimaan senilai Rp6 hingga Rp7 triliun per bulan atau setidaknya Rp60 triliun dalam setahun.
Selain mengenai rencana kenaikan tarif PPN, ada pula ulasan terkait dengan tindakan Ditjen Pajak (DJP) terhadap wajib pajak yang belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Kemudian, ada ulasan tentang aplikasi e-reporting PPS.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan pemerintah berkomitmen melaksanakan amanat UU HPP dengan mempertimbangkan beberapa hal, termasuk situasi perekonomian. Namun, dia belum dapat memastikan waktu kenaikan tarif PPN menjadi 12%.
"Di undang-undang bunyinya paling lambat 1 Januari 2025. Kapan? Itu harus ada pertimbangan yang mendalam kapan akan dilakukan," ujarnya. (DDTCNews)
Ditjen Pajak (DJP) akan menyampaikan surat teguran kepada wajib pajak yang belum melaporkan SPT Tahunan 2022. Surat teguran disampaikan kepada wajib pajak yang belum memenuhi kewajiban perpajakannya, termasuk belum melaporkan SPT Tahunan.
“Atas wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT sesuai batas waktu yang ditentukan atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dapat diterbitkan surat teguran sebelum diterbitkan Surat Tagihan Pajak (STP),” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti. (DDTCNews)
Jika terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis atau salah hitung, dirjen pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), ada beberapa kondisi yang bisa menyebabkan dirjen pajak menerbitkan STP.
“Direktur jenderal pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila … dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung,” bunyi penggalan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP.
Adapun yang dimaksud dengan penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampiran-lampirannya, termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. (DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo menyatakan pemerintah terus berupaya mereformasi sistem pajak di Indonesia. Suryo mengatakan pemerintah melaksanakan reformasi pajak sebagai bagian dari upaya menyehatkan APBN setelah tertekan akibat pandemi Covid-19. Salah satu capaian penting dalam reformasi tersebut yakni pengesahan UU HPP.
"Implementasi UU HPP penting sebagai bagian dari reformasi untuk memperkuat perekonomian dan penerimaan negara," katanya dalam Asia Pacific Tax Forum ke-14. (DDTCNews)
Memasuki Mei 2023, aplikasi pelaporan realisasi repatriasi dan investasi program pengungkapan sukarela (PPS) masih belum tersedia di DJPOnline. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan aplikasi e-reporting PPS masih dalam proses pengembangan.
"Untuk aplikasi e-reporting PPS saat ini masih dalam tahap pengembangan," ujar Dwi.
Awalnya, DJP berencana untuk mengaktivasi aplikasi e-reporting PPS pada 1 Mei 2023. Peserta PPS yang berkomitmen melakukan repatriasi atau investasi harus melaporkan repatriasi dan investasinya paling lambat pada 31 Mei 2023. (DDTCNews) (kaw)