JAKARTA, DDTCNews  - Pemerintah mengakomodasi rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga kritik dari lembaga riset ekonomi Indef perihal pencabutan fasilitas fiskal di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Pembebasan cukai di kawasan bebas dinilai menimbulkan banyak ekses negatif.
Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan kebijakan pembebasan cukai di KPBPB selama ini memang tidak tepat. Berbagai persoalan timbul dari pemberian insentif fiskal tersebut, mulai dari peredaran rokok yang tidak sesuai dengan peruntukan wilayah hingga mencederai aspek keadilan berusaha bagi pelaku bisnis.
"Dari sisi makro dan kebijakan fiskal sudah disebutkan bahwa fasilitas pembebasan cukai memang tidak tepat," katanya, Rabu (22/5/2019).
Lebih lanjut, Susi menjabarkan penyalahgunaan fasilitas pembebasan cukai paling signifikan terjadi untuk produk hasil tembakau, yaitu rokok. Kawasan perdagangan bebas Batam menjadi lokasi sentral dalam prakktik penyalahgunaan insentif.Â
Data otoritas kepabeanan menunjukan statistik penindakan hukum terkait rokok ilegal di pesisir timur Sumatera banyak bersumber dari penyalahgunaan dan ketidaktepatan fasilitas cukai. Dalam artian, produk rokok ilegal berasal dari produk yang semestinya hanya beredar di kawasan bebas Batam namun ikut merembes ke daerah lain di sekitarnya.
"Hasil penindakan Bea dan Cukai mulai dari salah peruntukan dan sebagainya itu kalau dilihat di seluruh pantai timur Sumatera itu 52% pelanggarannya adalah terkait rembesan dari KPBPB. Jadi rokok yang seharusnya beredar di KPBPB ternyata dikeluarkan semua untuk memenuhi pasar di sepanjang pantai timur Sumatera," jelasnya.
Ia menambahkan dari aspek keadilan berusaha juga tidak terpenuhi dengan insentif fiskal yang berlaku di kawasan bebas. Pasalnya, sebagian besar produsen rokok khususnya di KPBPB Batam sudah membayar cukai meskipun sudah diberikan pembebasan.Â
Pendapat Susi ini merujuk kepada hasil studi Ditjen Bea dan Cukai terkait dengan peredaran rokok di kawasan bebas Batam. Hasilnya menunjukan 70% rokok yang beredar di Batam sudah dilengkapi dengan pita cukai. Dengan demikian pemberian fasilitas pembebasan cukai menjadi tidak relevan.
"Hasil studi BC di 2014-2015 menunjukan dari semua rokok yang beredar di Batam itu 70%-nya sudah dilengkapi dengan pita cukai, bahkan kecenderungannya untuk tahun-tahun setelahnya yang sudah dilekatkan pita cukai jumlahnya semakin besar," tutur Susi.
Berbekal kedua data tersebut membuat pemerintah bertindak responsif terkait dengan rekomendasi KPK. Otoritas fiskal secara efektif per 1 Juni 2019 mewajibkan pungutan cukai untuk produk hasil tembakau dan minuman beralkohol yang beredar di kawasan bebas seperti Batam.
"Nota dinas Ditjen Bea Cukai itu kan tidak akan melayani CK-FTZ per 17 Mei 2019. Kemudian kita beri waktu pelekatan pita cukai yang prosesnya 10 hari. Jadi untuk Batam akan mulai gunakan pita cukai semua per 1 Juni 2019," imbuhnya. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.