RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Perbedaan Interpretasi Penentuan Saat Terutangnya PPN

Rinaldi Adam Firdaus
Jumat, 10 Maret 2023 | 15.38 WIB
Sengketa Perbedaan Interpretasi Penentuan Saat Terutangnya PPN

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak mengenai perbedaan interpretasi dalam menentukan saat terutangnya pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean.

Dalam menjalankan usahanya, wajib pajak menggunakan jasa dari X Co sebagai rekanan yang berdomisili di luar daerah pabean Indonesia. Atas transaksi tersebut, wajib pajak baru membayarkan dan melaporkan PPN atas pemanfaatan jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean berdasarkan pada tanggal pencatatan di dalam pembukuannya.

Otoritas pajak menilai saat terutangnya PPN atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean seharusnya ditentukan berdasarkan tanggal diterbitkannya invoice yang diterbitkan oleh X Co kepada wajib pajak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.04/2000.

Sebaliknya, wajib pajak berpendapat tanggal pencatatan merupakan saat terutangnya PPN atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean. Wajib pajak menjelaskan penyebab terjadinya perbedaan waktu antara tanggal diterbitkannya invoice dan tanggal pencatatan adalah karena wajib pajak memerlukan waktu untuk memeriksa kelengkapan dan isi dari invoice perihal time charges yang diterbitkan oleh X Co.

Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat saat terutangnya PPN ialah ketika dimulainya pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean.

Adapun yang dimaksud dengan saat dimulainya pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean adalah pada saat nilai tagihan diketahui secara pasti untuk dibayarkan kepada X Co. Dalam kasus ini, wajib pajak baru bisa memastikan nilai tagihan X Co setelah adanya persetujuan dari kedua belah pihak. Kemudian, nilai tagihan yang telah disepakati tersebut dicatat di dalam pembukuan wajib pajak.

Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruh permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.22336/PP/M.VII/16/2010 tanggal 25 Februari 2010, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 24 Juni 2010.

Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi PPN masukan sehubungan dengan perbedaan pengakuan saat terutangnya PPN atas pemanfaatan jasa dari luar daerah pabean yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Termohon PK menggunakan jasa dari X Co yang berdomisili di luar daerah pabean Indonesia. Atas transaksi tersebut, Termohon PK memiliki kewajiban untuk membayar sejumlah PPN yang terutang atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean.

Adapun persoalan dalam sengketa ini berkaitan dengan perbedaan interpretasi dalam menentukan saat terutangnya PPN antara Termohon PK dengan Pemohon PK.

Menurut Pemohon PK, PPN yang timbul atas transaksi yang dilakukan antara Termohon PK dengan X Co seharusnya terutang berdasarkan tanggal diterbitkannya invoice. Hal ini disebabkan saat terutangnya PPN terjadi ketika dimulainya pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UU PPN.

Adapun yang dimaksud dengan saat dimulainya pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean ialah ketika salah satu dari empat peristiwa terjadi terlebih dahulu, yaitu saat JKP secara nyata digunakan, saat harga perolehan dinyatakan sebagai utang, saat harga jual JKP ditagih, ataupun saat pembayaran JKP. Ketentuan ini sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KMK 568/KMK.04/2000.

Selain itu, fakta pendukung lainnya adalah tanggal diterbitkannya invoice yang diterbitkan oleh X Co terjadi lebih dahulu jika dibandingkan dengan tanggal pencatatan dan juga tanggal bayar yang dilakukan Termohon PK. Oleh karena itu, Pemohon PK berpendapat saat terutangnya PPN atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat X Co menerbitkan invoice kepada Termohon PK.

Sebaliknya, Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon PK. Termohon PK menilai PPN atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean terutang pada saat Termohon PK mencatatkan invoice dengan nilai tagihan yang telah disepakati bersama ke dalam pembukuan.

Termohon PK tidak menggunakan tanggal diterbitkannya invoice sebagai saat terutangnya PPN karena Termohon PK memerlukan waktu untuk memeriksa kelengkapan dan isi dari invoice perihal time charge yang diterbitkan oleh X Co. Apabila terdapat perbedaan nilai yang ditagih di dalam invoice maka Termohon PK akan melakukan negosiasi ulang dengan X Co.

Kemudian, jika nilai tagihan telah disetujui oleh kedua belah pihak, nilai tersebut baru dicatat ke dalam pembukuan Termohon PK dan menjadi acuan penentuan dasar pengenaan pajak (DPP) PPN yang terutang. Selain itu, Termohon PK juga menggunakan kurs berdasarkan pada tanggal pencatatan atas transaksi tersebut. Oleh sebab itu, Termohon PK menilai koreksi yang ditetapkan oleh Pemohon PK tidak tepat.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak No. Put.22336/PP/M.VII/16/2010 sudah benar serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang di bidang perpajakan. Adapun terhadap perkara ini, terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, tidak terdapat putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Kedua, Termohon PK telah melakukan pencatatan berkaitan dengan pengkreditan pajak masukan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.