RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa mengenai koreksi positif nilai pabean atas bea masuk dari transaksi pembayaran royalti kepada pihak afiliasi (X Co).
Dalam perkara ini, wajib pajak memiliki perjanjian dengan X Co yang berdomisili di Amerika Serikat. Berdasarkan pada perjanjian tersebut, wajib pajak ditunjuk oleh X Co sebagai distributor eksklusif atas barang-barang yang menggunakan merek dagangnya di Indonesia.
Sebagai imbal hasil, wajib pajak membayarkan biaya royalti kepada X Co. Namun, permasalahannya adalah wajib pajak tidak menambahkan biaya royalti dalam menghitung nilai pabean atas bea masuk.
Menurut otoritas pajak, biaya royalti yang dibayarkan wajib pajak kepada X Co seharusnya menjadi komponen penghitungan nilai pabean atas bea masuk. Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, otoritas pajak melakukan koreksi positif atas nilai pabean untuk bea masuk.
Dengan adanya koreksi positif atas nilai pabean untuk bea masuk tersebut, otoritas pajak juga menetapkan kurang bayar atas PPN dan PPh Pasal 22.
Sementara itu, wajib pajak tidak sepakat dengan otoritas pajak. Menurut wajib pajak, pembayaran biaya royalti kepada X Co tidak perlu ditambahkan dalam penghitungan nilai pabean atas bea masuk. Sebab, biaya royalti dibayarkan sehubungan dengan pemberian hak eksklusif dan tidak berkaitan dengan pembelian barang impor.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk menolak permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Kemudian, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh wajib pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan ID.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak mempertahankan koreksi positif nilai pabean atas bea masuk terhadap royalti yang ditetapkan oleh otoritas pajak.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak.
Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 39975/PP/M.IX/19/2012 tanggal 6 September 2012, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 18 Desember 2012.
Adapun pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi positif nilai pabean atas bea masuk akibat adanya komponen biaya royalti yang belum dimasukkan dalam penghitungannya. Dengan adanya koreksi positif nilai pabean atas bea masuk, otoritas pajak juga menetapkan koreksi atas PPN dan PPh Pasal 22.
PEMOHON PK selaku wajib pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Dalam perkara ini, Pemohon PK memiliki perjanjian kerja sama dengan X Co selaku pihak afiliasi yang berdomisili di Amerika Serikat.
Dalam perjanjian tersebut, Pemohon PK ditunjuk sebagai distributor eksklusif atas barang-barang yang menggunakan merek dagang X Co di Indonesia selama jangka waktu tertentu. Atas kerja sama tersebut, X Co mendapatkan penghasilan berupa royalti dari Pemohon PK.
Selama menjalin kerja sama, Pemohon PK mengimpor barang dari X Co yang berada di Amerika Serikat. Atas transaksi tersebut, Pemohon PK menjelaskan bahwa biaya royalti tidak perlu dimasukkan dalam komponen penghitungan nilai pabean atas bea masuk. Sebab, pembayaran royalti dilakukan sehubungan dengan pemberian hak distribusi dan tidak berkaitan dengan pembelian barang impor.
Berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Lampiran I Keputusan Dirjen Bea dan Cukai KEP-81/BC/1999 serta Peraturan Dirjen Bea dan Cukai No. P-01/BC/2007, terdapat 4 syarat kumulatif agar biaya royalti dapat menjadi komponen penghitungan nilai pabean atas bea masuk.
Pertama, royalti dibayar oleh pembeli, baik secara langsung maupun tidak. Kedua, royalti menjadi persyaratan penjualan barang impor. Ketiga, royalti berkaitan dengan barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya. Keempat, royalti belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau seharusnya dibayar.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, Pemohon PK berpendapat pembayaran biaya royalti kepada X Co tidak memenuhi syarat pada poin kedua dan ketiga . Sebab, dalam transaksinya dengan X Co, royalti bukan merupakan syarat penjualan barang impor. Royalti juga tidak berkaitan dengan barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabean atas bea masuknya.
Pemohon PK membuktikan pernyataannya dengan menunjukkan ketentuan penghitungan biaya royalti. Adapun ketentuan penghitungannya ialah laba usaha dikurangi dasar penghitungan laba distribusi dan royalti yang dibayarkan pada periode triwulan sebelumnya dalam tahun bersangkutan.
Seluruh elemen dalam ketentuan penghitungan royalti tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan pembelian barang impor. Dengan demikian, Pemohon PK tetap mempertahankan pendapatnya bahwa dalam menentukan nilai pabean atas bea masuk tidak perlu memasukkan komponen biaya royalti.
Sebaliknya, Termohon PK tidak sependapat dengan pernyataan Pemohon PK. Menurutnya, biaya royalti seharusnya ditambahkan dalam penghitungan nilai pabean atas bea masuk. Oleh sebab itu, Termohon PK melakukan koreksi positif atas nilai pabean atas bea masuk.
Adapun nilai pabean atas bea masuk merupakan salah satu komponen dasar penghitungan bea masuk, PPN, dan PPh Pasal 22. Dengan adanya koreksi positif atas nilai pabean atas bea masuk, Termohon PK akhirnya juga menetapkan kurang bayar atas PPN dan PPh Pasal 22.
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak permohonan banding sudah tepat dan benar. Adapun terhadap perkara ini, Mahkamah Agung menyatakan koreksi yang dilakukan oleh Termohon PK sudah sesuai.
Dengan demikian, tidak terdapat putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menilai permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara.