Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak pertambahan nilai (PPN) atas penentuan besaran DPP PPN atas penjualan minyak pelumas.
Otoritas pajak menilai bahwa bahwa DPP PPN yang dicantumkan dalam faktur pajak lebih rendah dibandingkan dengan nilai yang sebenarnya. Dengan kata lain, terdapat nilai PPN yang kurang dibayar sehingga dilakukan koreksi oleh otoritas pajak.
Sebaliknya, wajib pajak berargumen bahwa penetapan DPP PPN dengan berdasarkan harga dasar tidak dapat dibenarkan. Sebab, nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai transaksi sebenarnya yang tertera dalam dokumen penjualan.
Selain itu, dalam transaksi penjualan tersebut, tidak terdapat nilai diskon yang harus dicantumkan dalam faktur pajak. Pada sistem pembukuan, adanya potongan harga tidak dicatat sebagai nilai diskon penjualan. Namun, potongan harga tersebut akan dicatat sebagai nilai penyesuaian yang ditentukan berdasarkan berbagai faktor, seperti lokasi, daya beli, serta kebutuhan layanan purna jual konsumen.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi DPP PPN yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak PUT-38272/PP/M.I/16/2012 tanggal 23 Mei 2012, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 17 September 2012.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi DPP PPN atas penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri pada masa pajak April 2008 senilai Rp4.921.896.093.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagai informasi, Termohon PK beroperasi di bidang perdagangan minyak pelumas untuk keperluan mesin dan peralatan.
Dalam menjalankan usahanya, Termohon PK mengimpor minyak pelumas dari Singapura dan juga Thailand, kemudian menjualnya kembali di Indonesia. Penjualan minyak pelumas tersebut dilakukan secara langsung kepada customer dalam negeri yang sebagian besar adalah pihak non-pemungut, yaitu PT X dan PT Y.
Adapun penjualan minyak pelumas tersebut dilakukan dengan merujuk pada harga dasar (base price). Pemohon PK menilai bahwa DPP PPN atas penjualan minyak pelumas seharusnya ditentukan berdasarkan harga dasar tersebut.
Apabila memang terdapat pengurangan harga penjualan maka potongan harga harus tercantum dalam faktur pajak. Kemudian, harga yang telah dikurangi dengan potongan penjualan tersebut menjadi dasar penghitungan besaran DPP PPN.
Namun demikian, pada realitanya, nilai diskon penjualan yang menjadi pengurang harga tidak dicantumkan dalam faktur pajak oleh Termohon PK. Hal ini sesuai dengan Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) No: LHP-155/PL/WPJ.07/KP0400.1./2010.
Padahal, Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 8 tahun 1983 s.t.d.d. Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) telah mengatur bahwa diskon/pengurangan harga yang dapat dikurangkan dari harga jual adalah potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
Kewajiban untuk mencantumkan nilai potongan harga juga diatur secara lebih lanjut dalam Pasal 13 ayat (5) huruf c UU PPN. Dalam hal ini, apabila Termohon PK telah mencatat penyesuaian penjualan dalam pembukuannya, tetapi tidak mencantumkan dalam faktur pajak maka Termohon PK dianggap tidak mengisi faktur pajak dengan benar sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (5) huruf c UU PPN.
Selain itu, dalam proses keberatan, Termohon PK juga tidak pernah meminjamkan data dan memberikan keterangan yang diminta sesuai surat permintaan data yang disampaikan Pemohon PK, seperti bukti invoice, kontrak/perjanjian penjualan, maupun rekening koran.
Dengan tidak diberikannya bukti-bukti pendukung, Pemohon PK menilai bahwa seharusnya argumen yang dikemukakan oleh Termohon PK tidak dapat dipertimbangkan. Sebab, argumen tersebut tidak didukung dengan data-data/dokumen yang memperkuat pendapat Termohon PK.
Menurut Pemohon PK, besaran DPP PPN seharusnya memang mengacu pada nilai harga dasar. Berdasarkan uraian di atas, Pemohon PK menyatakan bahwa koreksi yang dilakukannya sudah benar.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan argumentasi Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa penetapan DPP PPN dengan berdasarkan harga dasar tidak dapat dibenarkan. Sebab, nilai tersebut tidak sesuai dengan nilai transaksi sebenarnya yang tertera dalam dokumen penjualan, seperti perjanjian, purchase order, invoice, dan faktur pajak.
Penentuan DPP PPN seharusnya merujuk pada harga yang disepakati antara Termohon PK dengan para konsumennya. Untuk keperluan internal kontrol bagi pihak manajemen perusahaan, base price tetap dicatat dalam sistem pembukuan sebagai nilai penjualan bruto pada setiap penerbitan invoice. Sementara itu, selisih harga dengan harga yang disepakati dengan konsumen dicatat dalam pos tersendiri sebagai penyesuaian nilai penjualan.
Kemudian, Termohon PK menilai bahwa sejak awal Pemohon PK memang tidak melakukan koreksi fiskal terhadap nilai akun penyesuaian harga yang berfungsi sebagai pengurang harga jual barangnya. Artinya, nilai pengenaan PPN berdasarkan harga jual yang disepakati dengan konsumen telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, Pemohon PK berpendapat bahwa tidak terdapat nilai diskon yang perlu dicantumkan dalam faktur pajak. Berdasarkan pertimbangan di atas, koreksi terhadap faktur pajak yang tidak mencantumkan nilai DPP yang sebenarnya tidak dapat dipertahankan.
Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding dianggap sudah tepat dan benar. Setidaknya terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan-alasan permohonan Pemohon PK untuk mempertahankan koreksi DPP PPN senilai Rp4.921.896.093 tidak dapat dibenarkan. Sebab, penentuan besaran DPP PPN sudah sesuai dan benar.
Fakta tersebut sesuai dengan perjanjian dan didukung oleh dokumen penjualan seperti purchase order, invoice, dan faktur pajak. Oleh karena itu, dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap di dalam persidangan.
Kedua, setelah dilakukan uji bukti kepada para pihak di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, koreksi terhadap Termohon PK tidak dapat dipertahankan. Sebab, koreksi tersebut tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, tidak ada putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 s.t.d.d Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak).
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan begitu, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)