PERSPEKTIF

Revitalisasi Kurikulum Pajak

Darussalam
Kamis, 07 Juli 2016 | 19.35 WIB
ddtc-loaderRevitalisasi Kurikulum Pajak
Managing Partner DDTC

LINGKUNGAN pajak global kini telah berubah drastis. Ini ditandai dengan adanya aksi bersama antara negara-negara anggota OECD dan G20, misalnya dalam upaya bersama memerangi perencanaan pajak agresif maupun penyelundupan pajak.

Perubahan lainnya, membangun babak baru hubungan antara otoritas pajak dan wajib pajak (WP). Dulu, hubungan dibangun berdasarkan pendekatan tradisional ala militer.

Dalam pendekatan tersebut, WP yang tidak patuh dijadikan target dan diperlakukan layaknya penjahat, di mana otoritas pajak berperan sebagai polisi. Kerja otoritas pajak fokus terhadap upaya untuk mendeteksi dan memberikan efek jera. Pemeriksaan menjadi strategi utama yang bersifat konfrontatif.

Kini, hubungan WP dan otoritas pajak dibangun dalam kerangka saling terbuka, saling percaya, dan saling menghargai. Inti hubungan ini adalah kesetaraan antara WP dan otoritas pajak.

Dengan kata lain, perlawanan terhadap penghindaran dan penyelundupan pajak secara internasional melalui transparansi merupakan tema yang diusung. Di sisi lain, otoritas pajak juga harus menjamin hak-hak dasar WP melalui deklarasi taxpayers’ charter.

Pertanyaannya, apakah fenomena perubahan tersebut telah diantisipasi dan tercermin dalam kurikulum yang ditawarkan oleh perguruan tinggi yang mempunyai konsentrasi, program studi dan/atau jurusan pajak?

Perubahan Paradigma

FENOMENA perubahan dalam area pajak global tersebut masih belum secara luas didiskusikan oleh perguruan tinggi yang mempunyai konsentrasi, program studi, dan/atau jurusan pajak. Padahal, kesempatan untuk berkiprah bagi profesi pajak di pasar ASEAN dan internasional sekarang terbuka luas.

Masih terdapat pemikiran bahwa penerapan pengetahuan pajak dimaknai terbatas untuk lingkup domestik. Pendapat ini tidak salah apabila pembelajaran lebih banyak mengupas ketentuan pajak domestik.

Sejatinya, penerapan pengetahuan pajak dapat menembus dimensi lintas batas negara. Pajak internasional dan transfer pricing adalah contoh topik pajak yang berlaku secara internasional dan tidak mengenal batas yurisdiksi pajak. Karena, topik pajak tersebut menggunakan panduan yang sama dan berlaku secara internasional.

Ironisnya, di Indonesia, topik tersebut belum dikembangkan sepenuhnya. Bahkan, untuk transfer pricing, yang saat ini menjadi isu utama bagi otoritas pajak dunia, tidak dipelajari dalam mata kuliah tersendiri. Sementara itu, pajak internasional masih sering dimaknai terbatas sekedar perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B).

Contoh di atas hanya sebagian kecil catatan untuk segera meredesain kurikulum pajak perguruan tinggi di Indonesia. Redesain hendaknya memperhatikan perkembangan kurikulum di beberapa perguruan tinggi ternama di belahan dunia sebagai berikut:

Pertama, mempelajari pajak sebagai multi disiplin ilmu. McCrudden (2006) berpendapat bahwa untuk mempelajari pajak perlu menyertakan pendekatan disiplin ilmu lainnya yang disebut sebagai “a pluralism of methodological approach”.

Livingston (1998) juga mendukung pendekatan “methodological pluralism” dalam pembelajaran pajak. Di mana ahli pajak harus “meminjam” disiplin-disiplin ilmu lainnya tanpa harus didominasi oleh keilmuan lain tersebut.

Ilmu hukum, akuntansi, dan ekonomi sangat berkaitan erat dengan pajak. Hal ini diungkapkan oleh Wheatcroft sebagaimana dikutip oleh Andrew Park (1997) yang menyatakan bahwa  “taxation is a subject which forms a bridge between economists, accountants, and lawyers”.

Ilmu politik dan sosiologi juga bersinggungan dengan pajak. Karena, setiap negara mempunyai perilaku dan pendekatan tersendiri terhadap cara pandang tentang pajak. 

Margaret Lamb (2004) juga menyarankan bahwa untuk memperkaya hasil penelitian masalah pajak harus dilakukan dengan cara menggabungkan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di Belanda tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ahli hukum pajak dan ekonomi pajak.

Sebaliknya di Indonesia, terdapat jurang yang lebar antara dua keahlian tersebut dan masing-masing membentuk kubu sendiri dengan ego disiplin ilmu dasarnya. Ahli hukum yang belajar pajak tidak fasih bicara ekonomi pajak apalagi menjelaskan akuntansi pajak. Begitu pula sebaliknya, ahli ekonomi (termasuk akuntansi) yang menekuni pajak tidak sigap berbicara hukum pajak.

Kedua, mempelajari pajak dengan perbandingan negara lain. Victor Thuronyi (2003) berargumen bahwa cara yang paling mendasar untuk memahami pajak adalah dengan melakukan perbandingan dengan negara lain. Lebih lanjut, menurut Jorg Manfred Mossner (2002), perbandingan pajak ditujukan untuk membandingkan jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan yang sama.

Ketiga, mempelajari pajak dengan studi kasus. Salah satu perbedaan mendasar sistem pendidikan pajak di Indonesia dengan di benua Eropa, Australia, dan Amerika adalah penggunaan kasus-kasus pajak dalam proses pembelajaran (Lin Jin, 1999).

Di Indonesia, sangat minim penggunaan studi kasus dalam proses pembelajaran. Kemungkinan ini terjadi karena ketiadaan publikasi dunia akademisi dalam mengkritisi putusan-putusan kasus pajak.

Terakhir, meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga pengajar pajak yang berasal dari luar otoritas pajak. Ini mendesak dilakukan agar pembelajaran pajak di kampus diwarnai dengan perdebatan konstruktif atas dasar referensi yang mendalam dari perspektif non-pemerintah.

Dengan demikian, ke depan, peran perguruan tinggi tidak sebatas “mensosialisasikan” ketentuan pajak, tetapi lebih besar dari itu. Yaitu, membangun sistem pajak yang berkepastian hukum, berkeadilan, setara, dan menjadi mitra kritis konstruktif yang berwibawa bagi otoritas pajak.

Itulah pekerjaan rumah yang harus segera disikapi oleh perguruan tinggi. Intinya, pembelajaran pajak sebagai disiplin “ilmu” tersendiri yang merupakan gabungan beberapa disiplin ilmu adalah suatu keharusan dan sangat prospektif untuk dikembangkan.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.