JAN A.G. VAN DER GELD:

'Proyek BEPS Harus Diikuti Harmonisasi'

Redaksi DDTCNews
Selasa, 24 Mei 2016 | 17.41 WIB
'Proyek BEPS Harus Diikuti Harmonisasi'

Profesor perpajakan Fiscal Institute of Tilburg University, Belanda Jan A.G. van der Geld. (Foto: DDTCNews)

KRISIS keuangan global 2008 telah sedemikian rupa menyatukan berbagai kepentingan jurisdiksi untuk melawan praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba (Base Erosion and Profit Shifting/ BEPS) melalui berbagai forum internasional seperti OECD atau kelompok negara G20.

Namun, karena memang krisis tersebut memberikan dampak yang tidak sama dan merata pada seluruh negara, terutama negara maju dan berkembang, maka respons terhadap proyek BEPS itu pun berbeda. Ada negara yang agresif, ada yang setengah-setengah, tetapi ada pula yang tetap adem ayem saja.

Masalahnya menjadi lebih rumit, karena tidak ada mekanisme yang dapat mengikat seluruh negara agar konsisten menerapkan proyek BEPS. Untuk menggali lebih jauh persoalan ini, DDTCNews mewawancarai Jan A.G. van der Geld, profesor perpajakan di Fiscal Institute of Tilburg University, Belanda. Petikannya:

Proyek BEPS tampaknya mulai menjadi agenda global. Komentar Anda?

Lanskap kebijakan perpajakan global tidak bisa dipisahkan dari kondisi ekonomi, terutama krisis keuangan global yang meletus pada 2008. Harus diakui, seluruh diskusi yang berkaitan dengan proyek BEPS adalah akibat langsung dari krisis keuangan tersebut.

Sebelum terjadinya krisis, banyak perusahaan multinational yang melakukan perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning), hingga mengakibatkan tergerusnya penerimaan pajak di negara tempat beroperasi perusahaan tersebut.

Praktik aggressive tax planning itu pada gilirannya ikut memperparah krisis keuangan yang terjadi di negara tersebut. Akibatnya, pemerintah setempat harus menerbitkan surat utang lebih banyak untuk membiayai pembangunan, dan terutama mem-bailout perusahaan negara atau bank yang bangkrut.

Di sisi lain, melebarnya defisit anggaran mendorong otoritas pajak di banyak negara mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi bagi wajib pajak (WP) domestik. Itu berarti, kebutuhan penerimaan pajak malah dibebankan kepada WP yang tidak memiliki kemampuan menggeser labanya ke jurisdiksi lain.

Hasilnya ada munculnya tuntutan dari pembayar pajak domestik. Tuntutan ini beriringan dengan desakan agar perusahaan multinasional membayar pajaknya secara adil. Ketidakadilan inilah yang lantas dibahas oleh berbagai organisasi multilateral seperti OECD, G20, dan Uni Eropa.

Seberapa optimis Anda terhadap proyek BEPS, mengingat tak ada mekanisme mengikat di dalamnya?

BEPS tentu membawa berbagai dampak perubahan, terutama ditinjau dari banyaknya komponen yang direkomendasikan OECD yaitu 15 Action Plan. Namun, harus diakui dampak proyek BEPS bisa tidak begitu besar karena tidak adanya perubahan mendasar.

Beberapa hal atau metode yang selama ini dipraktikkan oleh perusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mungkin akan dihilangkan, tapi ketentuan atau konsep lainnya akan tetap berlaku. Tentu, semua itu tetap ada persoalan yang harus dipecahkan.

Satu-satunya solusi tepat untuk permasalahan ini adalah harmonisasi sistem pajak dari berbagai negara. Sebagai contoh, jika semua negara memiliki perlakuan pajak yang sama antara remunerasi atas ekuitas (dividen) dan utang (bunga), maka tidak mungkin laig ada celah bagi perusahaan multinasional.

Dengan kesamaan perlakukan itu, perusahaan multinasional tidak lagi dapat menciptakan instrumen keuangan campuran (hybrid financial instrument) dengan pengurangan bunga dari sisi debitur dan perlakuan pembebasan sebagai dividen di sisi kreditur.

Bagaimana Anda melihat kepentingan negara berkembang dalam proyek BEPS?

Proyek BEPS ini sangat penting bagi negara berkembang karena mereka membutuhkan keadilan dan biaya untuk membangun perekonomiannya. Tak ada kelompok negara lain yang lebih berkepentingan daripada negara berkembang terutama jika dikaitkan dengan ketergantungan penerimaan pajak badan.

Praktik BEPS sebenarnya juga dapat diperangi dengan aturan atau prinsip internasional yang telah ada, namun selama ini belum diaplikasikan dengan baik dan maju di negara berkembang, contohnya arm’s length principle dalam kaitannya dengan transfer pricing.

Pada akhirnya kelompok negara berkembang dan negara maju harus menyatukan tujuan mereka tentang apa yang harus didahulukan, apakah pembagian yang adil (fair share) atau kompetisi ekonomi (economic competition). Seluruh negara harus mencapai keseimbangan di antara kedua titik tersebut secara ‘pas’.

Karena itu, BEPS harus diikuti harmonisasi peraturan perpajakan oleh berbagai negara,  meski ini sulit. Dalam hal ini, negara berkembang tentu dapat memiliki peran penting, terutama dalam menyuarakan suara kepentingan mereka dan meyakinkan negara lain melakukan harmonisasi.

Apakah proyek BEPS juga diarahkan untuk memperkecil gap pendapatan yang kian melebar?

Memang, perubahan lanskap perekonomian global pascakrisis 2008 juga ditandai dengan meningkatnya kesenjangan distribusi pendapatan, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin relatif tetap menjadi miskin. Harus diakui, banyak riset menunjukkan ketimpangan tersebut erat kaitannya dengan kapitalisme.

Betul bahwa komunisme lebih menjamin distribusi pendapatan yang merata, namun tidak diakuinya kepemilikan privat menjadikan komunisme jauh lebih buruk. Kini, dengan matinya komunisme, tantangan kapitalisme terletak pada bagaimana menjaga ketimpangan tetap dalam ambang batas yang tepat.

Nah, pajak dapat berperan mengatasi ketimpangan tersebut, meski tujuan ini sedikit banyak bertabrakan dengan tujuan utama pajak sebagai sumber penerimaan. Penggunaan instrumen pajak yang berlebihan untuk kepentingan redistribusi pendapatan dapat mendistorsi tujuan utama sebagai sumber penerimaan.

Dari sisi negara berkembang, apa tantangan perpajakan pascakrisiskeuangan 2008?

Harus dipahami bahwa pajak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah masyarakat. Jadi, masing-masing warga negara harus memberikan kontribusi dan bergotong-royong untuk turut menyejahterakan masyarakat dan negara secara keseluruhan.

Cara berkontribusi untuk memaksimalkan kesejahteraan umum tergantung pada masyarakat itu sendiri dan bagaimana perkembangan serta permasalahan yang dihadapi oleh negara itu. Jadi, tidak ada suatu obat yang berlaku umum bagi semua negara, termasuk bagi kelompok negara berkembang.

Walau demikian, ada satu hal yang pasti dan berlaku umum bagi semua sistem pajak, yaitu pajak harus bersifat adil dan diatur sesederhana mungkin. Karena itu, praktik seperti penyuapan maupun kegiatan ekonomi ilegal harus dihilangkan karena kedua hal tersebut merupakan pelanggaran prinsip keadilan.

Dari sisi negara berkembang, pajak bukanlah satu-satunya tantangan dalam perekonomian mereka. Pemerintah di negara berkembang harus bijak dalam melihat persoalan multidimensi yang ada, sehingga belum tentu perbaikan sistem pajak menjadi prioritas di atas hal-hal yang lainnya.

Contohnya bidang pendidikan. Mungkin jauh lebih memiliki nilai strategis sebagai investasi jangka panjang bagi suatu negara dibandingkan dengan perbaikan sistem pajak. Walau demikian, bukanlah tidak mungkin suatu negara melaksanakan perbaikan baik pada sistem perpajakan maupun hal lain secara simultan.

Jadi, hal yang terpenting adalah sudah sewajarnya negara berkembang memperhitungkan pilihan-pilihan yang tersedia, karena tidak selamanya upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak menjadi pilihan yang paling bijaksana dalam jangka pendek, sebagai respons atas situasi pascakrisis keuangan global 2008.

Apa pendapat Anda tentang kerja sama antarnegara berkembang seperti MEA di Asia Tenggara?

Kerja sama Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) itu positif. Ditinjau dari ide untuk menciptakan pasar internal Asean, MEA sepertinya mengekor Uni Eropa. Namun, ada perbedaan yang cukup substansial antara MEA dan Uni Eropa karena sejarah, keadaan, serta perkembangan negara anggotanya.

Pelajaran utama dari Uni Eropa adalah keinginan untuk bekerja sama dalam forum yang bermartabat. Adanya ego dan kepentingan ekonomi masing-masing negara dibicarakan dalam suatu kerangka unilateral dan bukan diselesaikan lewat suatu konflik seperti yang pernah terjadi pada sejarah panjang Eropa.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah untuk tidak terburu-buru memasuki suatu kerangka kerja sama moneter seperti di Uni Eropa. Ikatan moneter seperti penggunaan kurs mata uang yang sama, seharusnya hanya bisa dilakukan setelah adanya proses integrasi ekonomi dan politik yang panjang.

Karena itu, saya negara yang berpartisipasi dalam MEA harus mengetahui hal-hal yang ingin mereka capai bersama. Apakah MEA bertujuan sebatas untuk memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya bagi negara-negara Asean, atau hanya menjadi ‘target antara’ untuk dapat melangkah lebih jauh?

Di Uni Eropa, tujuan akhirnya masih kurang jelas. Salah satunya ingin membentuk suatu ‘negara kesatuan’ Eropa, lalu ada lagi yang mau membuat kerja sama untuk kemudian membiarkan interaksi antaranggota. Ini sangat penting untuk mengurangi perbedaan pendapat dan salah pengertian di kemudian hari.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.