WAKIL MENTERI INVESTASI YULIOT

‘Kami Akan Usulkan Penerapan Top Up Tax secara Selektif’

Muhamad Wildan
Jumat, 06 September 2024 | 17.00 WIB
‘Kami Akan Usulkan Penerapan Top Up Tax secara Selektif’

Wakil Menteri Investasi/Wakil Kepala BKPM Yuliot.

INVESTASI merupakan salah satu komponen utama yang membentuk perekonomian suatu negara. Di Indonesia, investasi memiliki peran yang kian penting mengingat aktivitas tersebut memiliki kontribusi sebesar 28%, di bawah konsumsi rumah tangga yang kontribusi ekonominya mencapai 54%.

Berkaca dari kondisi tersebut, tidak mengherankan bila pemerintah terus meramu dan mengevaluasi kebijakannya, mulai dari perizinan hingga perpajakan, demi meningkatkan daya saing ekonomi dan menarik investasi ke dalam negeri.

Dalam hal perizinan, pemerintah telah mengubah paradigma perizinan dari license based menjadi risk based dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan kepastian bagi dunia usaha.

Pemerintah juga memberikan beragam jenis insentif fiskal, seperti tax holiday, dalam menarik minat investor untuk menanamkan modalnya di dalam negeri, terutama pada sektor industri pionir dengan teknologi tinggi dan berorientasi ekspor.

Kali ini, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Wakil Menteri Investasi/Wakil Kepala BKPM Yuliot untuk mengetahui lebih lanjut tren investasi dan rencana kebijakan investasi pada masa depan. Berikut petikan lengkapnya:

Realisasi investasi pada semester I/2024 sudah mencapai 50,3%. Apa langkah yang diambil BKPM untuk mencapai target keseluruhan?

Jika kita melihat dari sisi target investasi, memang ada penyesuaian di tengah jalan. Ada dua target, yaitu berdasarkan Renstra BKPM sebagai bagian dari RPJMN, serta berdasarkan arahan presiden.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, presiden menyesuaikan target investasi tahun ini menjadi Rp1.650 triliun, dan kami sudah mencapai Rp830 triliun atau 50,3%. Jadi, kami tinggal mencari 49,7% lagi.

Untuk mencapainya, kami memetakan investasi-investasi besar yang masih dalam tahap konstruksi, kira-kira apa saja yang mereka butuhkan dari Kementerian Investasi.

Kami sendiri memiliki program Eksekusi Realisasi Investasi untuk mencari tahu kebutuhan mereka. Program ini dibagi ke dalam 2 wilayah, yaitu barat dan timur, karena masalah yang dihadapi investor di 2 wilayah ini berbeda.

Dengan pemetaan masalah yang lebih spesifik, kami yakin bisa membantu menyelesaikan kendala investasi, dan optimistis bahwa investasi besar yang saat ini masih dalam proses bisa kami kawal hingga terealisasi.

Terkait dengan hilirisasi, berapa besar kontribusinya terhadap realisasi investasi?

Kontribusi hilirisasi bisa mencapai 25% dari total realisasi investasi. Kami berupaya agar kebijakan hilirisasi ini terimplementasi dengan baik melalui dialog aktif dengan para pelaku usaha untuk mengidentifikasi kendala mereka.

Kami tidak lagi bersifat pasif, tetapi bergerak aktif melalui mekanisme Eksekusi Realisasi Investasi di wilayah barat dan timur.

Apa strategi BKPM untuk menjaga momentum investasi hingga 2025?

Kami tidak hanya fokus pada 2024, tetapi juga mempersiapkan target 2025 dengan membawa potensi investasi yang ada sekarang (carry over) untuk tahun depan. Proses investasi itu memerlukan waktu, dari perizinan hingga konstruksi dan produksi komersial.

Untuk itu, kami mendorong percepatan realisasi investasi yang ada sekarang, sekaligus menyiapkan untuk tahun depan. Target 2025 kami adalah lebih dari Rp1.900 triliun, naik sekitar 15% dari tahun ini. Meskipun berat, kami siap berjuang untuk mencapainya.

Berapa potensi investasi yang harus masuk ke pipeline untuk mendukung target 2025?

Untuk Penanaman Modal Asing (PMA) sekarang, komitmen yang ada baru senilai kurang lebih Rp5.000 triliun. Namun, tidak semua komitmen ini akan langsung terealisasi, karena butuh waktu sekitar 2-3 tahun.

Rumusnya begini, untuk bisa mencapai target Rp1.650 triliun misalnya maka kita membutuhkan komitmen 4 kali lipat dari jumlah tersebut, sekitar Rp5.600 triliun. Selama ini, komitmen investasi sebesar 4 kali dari target selalu bisa kami capai.

Apa yang dilakukan Kementerian Investasi/BKPM untuk meningkatkan iklim investasi ke depan?

Saya dengan menteri investasi telah mencoba merumuskan kebijakan 3 pilar. Jadi, investment policy-nya bagaimana, lalu industrial policy-nya bagaimana, kemudian trade policy-nya bagaimana. Ketiga pilar ini, kami rumuskan.

Nah, pak menteri investasi juga fokus mengomunikasikan 3 pilar policy tersebut untuk mendukung masuknya investasi yang berkualitas. Kalau industrinya jadi, tetapi industrial policy-nya tidak mendukung maka investasi ini bisa terkendala.

Apa kendala utama yang dihadapi investor dalam merealisasikan rencana investasinya?

Investasi besar biasanya memerlukan waktu untuk menyelesaikan masalah permodalan. Sebagian besar modal yang dibutuhkan berasal dari pinjaman sehingga financial closing bisa memakan waktu hingga setahun.

Oleh karena itu, kami sejak awal melakukan percepatan perizinan dan memberikan kepastian fasilitas yang dibutuhkan investor. Jadi, apabila investor yang bersangkutan memerlukan konfirmasi fasilitas, bisa kami buatkan surat konfirmasi untuk pengajuan fasilitasnya.

Hingga saat ini, kontribusi pembentukan modal tetap bruto (PMTB) terhadap PDB baru 27,89%. Bagaimana Kementerian Investasi meningkatkan kontribusi PMTB ini?

Kami menghitung seluruh komponen investasi sebagai realisasi investasi, termasuk pembelian tanah, bangunan, mesin, dan peralatan. Namun, mereka [Badan Pusat Statistik (BPS)] tidak memasukkan investasi tanah ke dalam komponen PMTB.

Jadi, kalau misalnya ada investasi yang berbasis SDA, komponen tanah itu tidak termasuk di dalam perhitungan PMTB. Jadi, kontribusi investasi meningkat di Kementerian Investasi, tetapi PMTB mungkin tidak setinggi apa yang kami laporkan.

Meskipun demikian, kami optimistis bahwa kontribusi investasi terhadap PMTB dapat ditingkatkan hingga 30%-32%, terutama melalui sektor-sektor hilirisasi yang fokus pada bangunan, mesin, dan peralatan.

Apa sektor yang diprioritaskan oleh pemerintahan baru sebagai tujuan investasi?

Saat ini, kami belum memiliki komposisi yang spesifik mengenai sektor prioritas. Namun, wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka—ketika mengunjungi Kementerian Investasi—berharap target pertumbuhan ekonomi mencapai sekitar 8%.

Tentu, ini merupakan pekerjaan besar yang tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Investasi, tetapi juga kementerian serta lembaga terkait lainnya, terutama dalam mendukung pertumbuhan pada masing-masing sektor.

Untuk itu, kebijakan investasi perlu dikonsolidasikan agar tidak bersifat parsial. Ketiga pilar utama harus selaras. Jika tidak, bisa menjadi beban bersama. Kita ambil contoh kebijakan green investment, terutama di sektor energi terbarukan (renewable energy).

Indonesia memiliki target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 30%, tetapi capaian saat ini masih jauh dari target tersebut. Dalam konteks ini, kami juga tengah mendorong pembangunan ekosistem kendaraan listrik, baik untuk kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.

Selain itu, di setiap sektor, kami juga berupaya memperdalam hilirisasi, tidak hanya terbatas pada 1 atau 2 lapisan seperti saat ini. Struktur pohon industrinya harus diisi secara menyeluruh sehingga kita bisa fokus pada bagian yang masih kosong.

Kementerian Investasi saat ini memiliki 2 unit kedeputian yang bertanggung jawab atas perencanaan investasi, yaitu perencanaan untuk proyek-proyek siap tawar (ready to offer) dan perencanaan untuk pengembangan hilirisasi.

Pengalaman kami dalam membangun ekosistem kendaraan listrik dimulai dari sektor hilir, yaitu industri kendaraan listrik itu sendiri. Setelah itu, kita bergerak ke sektor hulu dengan mendukung produsen sel baterai listrik.

Ekosistem kemudian berkembang ke level selanjutnya, hingga mencakup komponen penting seperti anoda dan katoda. Nah, pola ini ingin kami terapkan di semua sektor industri, mulai dari hilir dan perlahan bergerak ke hulu, atau sebaliknya, tergantung kebutuhan.

Artinya, porsi investasi pada sektor manufaktur (sekunder) mungkin akan lebih besar?

Jika kita melihat data realisasi investasi, sektor primer dan tersier umumnya menjadi fokus Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sementara itu, sekitar 60% Penanaman Modal Asing (PMA) diarahkan ke sektor manufaktur.

Apakah pemerintah berencana mengubah skema insentif investasi ke depan?

Kami masih dalam proses mengkaji skema insentif investasi, seperti pembebasan bea masuk, tax holiday, dan tax allowance. Ke depan, kita perlu menyesuaikan kebijakan ini dengan penerapan pajak minimum global (global minimum tax) sebesar 15%.

Untuk itu, kita perlu memikirkan bagaimana struktur dan mekanisme nantinya sehingga insentif pajak tetap relevan. Kami mengusulkan penerapan top-up tax secara selektif, hanya bagi investor dari negara yang telah memberlakukan pajak minimum global.

Kami juga berharap para investor melakukan reinvestasi sehingga dana yang mereka hasilkan bisa tetap berputar di dalam negeri. Ini bisa kita dorong, misalnya dengan penempatan dana di financial center di Ibu Kota Nusantara (IKN).

Menurut Kementerian Investasi, sektor apa saja yang akan menjadi unggulan dan masuk dalam kategori industri pionir ke depan?

Negara yang mampu mencapai swasembada pangan dan energi akan menjadi negara yang kuat. Selama ini, investasi di sektor pertanian masih kurang diperhatikan, padahal ketahanan pangan sangat penting.

Pada masa depan, sektor pertanian mungkin akan menjadi prioritas, terutama dengan restrukturisasi di tingkat petani. Usia rata-rata petani di pedesaan makin tua, sedangkan generasi muda lebih memilih pindah ke kota.

Dengan kondisi jumlah petani yang terbatas, teknologi pertanian dan mekanisasi justru harus lebih diintensifkan untuk meningkatkan produktivitas.

Terkait PMK 130/2020, apakah ada pembahasan terkait dengan masa berlakunya tax holiday yang akan habis pada Oktober 2024?

Kami telah mengusulkan Kementerian Keuangan untuk memperpanjang fasilitas tax holiday selama 4 tahun ke depan. Selain itu, perkembangan teknologi juga menjadi perhatian kami, terutama di industri pionir. Teknologi yang saat ini dianggap canggih bisa menjadi usang dalam beberapa tahun.

Contohnya di industri nikel, teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) yang sebelumnya dianggap paling cocok, kini telah tergantikan oleh teknologi high pressure acid leaching (HPAL). RKEF pun tak lagi diberikan fasilitas, sedangkan HPAL yang diberikan insentif.

Apakah skema tax holiday ke depan masih tetap sama seperti sekarang? Atau akan ada perbedaan?

Pertama, kami akan mengusulkan strukturnya hampir sama, ada 18 bidang usaha yang merupakan industri pionir seperti sekarang. Kedua, ada ruang untuk penyesuaian bidang usaha.

Ketiga, ada ruang untuk implementasi dalam hal global minimum tax sudah diterapkan oleh masing-masing negara. Kalau kita tidak buatkan seperti itu, nantinya menjadi tidak fleksibel dan juga dampak daya saingnya tidak terlalu signifikan. 

Keempat, kami juga buatkan skema khusus kalau investasinya terintegrasi. Misal, ada dalam 1 kawasan dikembangkan industri petrokimia. Itu bisa di hulu ada bahan bakunya, kemudian sampai di hilir ada produk-produknya. Itu bisa saja pemainnya beda-beda.

Namun, karena ini merupakan satu kesatuan investasi, seharusnya insentifnya bisa kita berikan secara keseluruhan dengan catatan ada keterkaitan pemegang saham. Itu yang kami coba akan rumuskan ke depan.

Secara badan usaha ini kan beda-beda. Misal, di hulu ada petrokimianya, kemudian ke bawahnya itu produknya. Badan usaha ini pemegang sahamnya sama, 1 atau 2 pemegang saham saja, tetapi kan masih dalam satu rangkaian kegiatan investasi. Kalau sekarang keterkaitan ini tidak dilihat

Maksudnya, insentif itu diberikan langsung ke grup usahanya?

Ke kelompok kegiatan usaha. Kalau sekarang insentif diberikan per PT, ke badan hukum. Ke depan, kami akan integrasikan kegiatan investasinya.

Sejauh ini, sudah berapa investor yang memanfaatkan tax holiday melalui PMK 130/2020?

Berdasarkan nominal investasi, sudah mencapai Rp695 triliun dengan total 109 persetujuan yang telah diterbitkan.

Pemerintah telah mengimplementasikan sistem online single submission berbasis risiko (OSS RBA) sejak 2021. Bagaimana evaluasinya?

Jumlah perusahaan yang terdaftar melalui OSS RBA dan telah menerima Nomor Induk Berusaha (NIB) mencapai lebih dari 10 juta sejak Agustus 2021 hingga Agustus 2024. Tidak ada sistem di Indonesia yang mampu meregistrasi kegiatan usaha sebanyak itu secara detail.

Sistem OSS ini memang memungkinkan kita untuk memantau sektor-sektor usaha dengan sangat terperinci.

Apa rencana dalam pengembangan OSS RBA 2.0?

Di OSS RBA 2.0, kami akan menyempurnakan regulasinya, khususnya terkait dengan persyaratan dasar. Dalam PP 5/2021, persyaratan dasar masih diatur oleh masing-masing sektor. Namun, dalam perubahan PP 5/2021, kami akan memasukkan pengaturan tersebut ke dalam PP.

Misal, mengenai persetujuan lingkungan. Jika sebelumnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) hampir sama, maka ke depan kami akan memisahkan persyaratannya.

Jika suatu kegiatan berdampak signifikan terhadap lingkungan maka wajib menggunakan Amdal dengan standar yang ketat. Namun, jika tidak berdampak signifikan, proses perizinannya akan disederhanakan untuk mempercepat izin.

Dalam PP saat ini, persyaratan dasar, perizinan sektoral, dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU) masih terpisah. Nanti, dalam perubahan PP 5/2021, semuanya akan diintegrasikan. Jadi, untuk bidang usaha yang memerlukan perizinan berusaha, semuanya akan diatur dalam satu rangkaian PP.

Dalam revisi PP 5/2021, terdapat perubahan terkait SLA dalam penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) hingga Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Mengapa klausul ini diperlukan?

Dalam PP 5/2021, sudah diatur mengenai ‘fiktif positif’. Namun, beberapa kementerian dan lembaga meminta aturan tersebut untuk ditunda penerapannya karena bisa berdampak terhadap regulasi yang ada di kementerian dan lembaga terkait.

Dalam perubahan PP 5/2021, kami mendorong aturan ‘fiktif positif’ ini benar-benar diterapkan. Jadi, dengan adanya SLA, kami dapat memperhitungkan waktu yang dibutuhkan dalam rangka memproses perizinan.

Jika pelaku usaha telah memenuhi persyaratan sesuai dengan yang diatur dalam PP maka proses perizinan harus dapat diselesaikan tepat waktu. Jika tidak diproses sesuai dengan batas waktu, aturan ‘fiktif positif’ akan berlaku, dan perizinan akan otomatis diterbitkan oleh sistem.

Ini juga menjadi sebagai pembelajaran agar regulasi dapat lebih tertib dan memberikan kepastian bagi pelaku usaha. Nanti, aturan ini juga berlaku untuk perizinan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan kementerian.

Jika perizinan tertunda, pelaksanaan proyek konstruksi tentu tidak dapat berjalan, yang berarti dampak ekonominya tidak ada.

Bagaimana pemerintah memastikan ketentuan-ketentuan tersebut bisa diimplementasikan secara efektif di daerah dan dipatuhi oleh pemerintah daerah (pemda)?

Ini adalah kebijakan pemerintah Indonesia, yang tentunya juga mencakup pemerintah daerah. Tidak ada pengecualian, kecuali kita ingin mengubah sistem menjadi negara serikat, yang tentu bukan model pemerintahan kita saat ini. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.