Sri Wahyuni Sujono.
JAKARTA, DDTCNews – Berbekal aspirasi dari para anggota, Sri Wahyuni Sujono mantap maju sebagai kandidat Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) periode 2019—2024.
Membawa semangat reformasi di tubuh IKPI, perempuan yang telah lebih dari 31 tahun menekuni dunia konsultan pajak ini ingin profesinya menjadi lebih terhormat dan mampu bersaing di era globalisasi. Dia menjadi satu-satu kandidat perempuan, bahkan sejak IKPI berdiri pada 1965.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Managing Partner SF Consulting tersebut pada pekan lalu di kantornya. DDTCNews ingin mengetahui lebih lanjut tentang latar belakang pencalonan diri, rencana program kerja, hingga pandangan mereka terkait kondisi lanskap pajak saat ini. Berikut kutipannya:
Apa yang mendorong Anda untuk maju sebagai kandidat Ketum IKPI?
Ya sebenarnya seperti ada suatu panggilan. Sebelumnya saya juga saya enggak ada ambisi ke situ [maju sebagai kandidat Ketum IKPI]. Kemudian, teman-teman mulai memberikan berbagai aspirasi. Ini membuat saya termotivasi untuk berbuat sesuatu bagi profesi saya.
Saya ini juga sudah jadi konsultan pajak lebih dari 31 tahun, jadi saya ingin berbuat sesuatu untuk profesi saya. Sebelumnya kan saya selalu aktif di luar, seperti Kadin [Kamar Dagang dan Industri], Rotary Club, dan beberapa organisasi pengusaha. Jadi ini suatu panggilan untuk organisasi profesi.
Apa visi yang Anda bawa sebagai bekal untuk maju?
Saya ingin menjadikan konsultan pajak sebagai profesi yang lebih terhormat atau officium nobile dan bisa lebih bersaing dalam era globalisasi ini. Dahulu, ada anggapan yang terkesan merendahkan profesi konsultan pajak dengan bilang, “Apa tukang pajak?”
Padahal, profesi konsultan pajak itu seharusnya menjadi salah satu pilar dari pemerintah kan? Apalagi, penerimaan terbesar dalam APBN kan dari pajak. Dengan demikian, konsultan pajak seharusnya menjadi profesi yang sangat penting.
Apa program kerja yang Anda tawarkan?
Saya sudah berbicara banyak dengan cabang-cabang hampir seluruh Indonesia yang mau menerima calon untuk sowan. Karena ini adalah organisasi dari anggota untuk anggota, saya mendengarkan aspirasi dari mereka semua untuk mewujudkan IKPI yang lebih baik.
Salah satu program yang akan saya lakukan jika terpilih adalah membuat manajemen IKPI lebih modern, gesit, dan lincah. Jadi, komunikasi antara pengurus dengan anggota, atau pengurus pusat dengan pengurus cabang, tidak harus ketemu seperti sekarang.
Sekarang kan zamannya teknologi, ada video conference atau lewat skype. Sehingga, komunikasi bisa berlangsung cepat. Selain itu, teknologi juga akan kita pakai untuk memperbaiki website sehingga menciptakan keterbukaan dan mempermudah aktivitas anggota.
Apa maksudnya?
Selama ini kan banyak yang mengeluhkan tentang PPL [pengembangan profesional berkelanjutan]. Ini sangat memberatkan, terutama bagi konsultan baru yang belum mendapat klien tapi tetap harus mendapatkan SKPPL untuk me-maintain izin mereka. Selain itu, ada pula kewajiban seminar nasional.
Selain masalah biaya, ini juga menyangkut kualitas. Jadi, misalnya konsultan yang sudah senior, apakah juga harus ambil materi yang sama atau atau bagaimana? Memang itu challenge. Selain itu, bagaimana peserta-peserta di daerah itu enggak perlu selalu harus datang ke jakarta karena biaya akomodasi yang juga mahal.
Memang pembicara di Jakarta lebih mudah, banyak, dan berkualitas. Namun, itu bisa kita antisipasi dengan memakai teknologi, seperti konsep webinar. Jadi, seluruh anggota yang ada di cabang bisa mengikuti program tanpa harus datang ke Jakarta.
Jadi, apakah bisa dikatakan Anda menawarkan solusi untuk masalah di internal organisasi?
Betul. Kalau yang tadi itu kan lebih ke anggota. Nah, untuk organisasi, kita ingin membuat sistem manajemen lebih rapi dan lebih transparan. Kemudian, organ-organ kepengurusan diaktifkan. Kan ada pengurus harian dan dewan pengawas. Itu semua harus diaktifkan.
Kami juga berpikir untuk hire direktur eksekutif. Jadi, urusan administrasi itu, seperti permintaan SKPPL dan pengurusan izin yang sudah expired bisa ada yang melayani tersendiri. Dengan demikian, pengurus-pengurus seperti kita ini semua diharapkan berpikir strategic plan-nya.
Selain itu, menurut saya, hal yang paling penting untuk menjadi fokus kita adalah mewujudkan impian bersama agar Indonesia mempunyai Undang-Undang (UU) Konsultan Pajak. Jadi, profesi menjadi makin mantap karena sudah diatur dalam UU.
RUU Konsultan Pajak sudah masuk DPR. Menurut Anda, apakah draf RUU itu sudah ideal?
Iya, pengurus yang sekarang juga sudah berjuang. Saya dengar, draf sudah sampai ke Prolegnas. Namun, di satu sisi, kami juga mendengar beberapa masukan bahwa draf yang sekarang ini hanya berfokus pada satu kepentingan saja, yaitu konsultan pajak.
Padahal, suatu UU seharusnya juga memperhatikan kepentingan stakeholder, seperti mitra kita Ditjen Pajak [DJP], akademisi, Kadin, Apindo [Asosiasi Pengusaha Indonesia], Hipmi [Himpunan Pengusaha Muda Indonesia], dan asosiasi lainnya. Di draf yang sekarang belum ada [keterlibatanstakeholder tersebut].
Kami melihat, untuk dapat melanjutkan ini, siapa saja yang terpilih, draf [RUU Konsultan Pajak] bisa mulai dari nol karena harus memperhatikan kepentingan stakeholder. Stakeholder baru mau diajak bicara kalau kepentingannya juga ada dong. Ibaratnya, mau buat kontrak dengan satu pihak, tapi kepentingan pihak tersebut tidak ada.
Apakah artinya pembahasan masih lama?
Menurut pendapat saya, drafnya bisa berubah lumayan signifikan karena kepentingan-kepentingan stakeholder itu yang belum masuk. Kemudian, prosesnya sendiri karena masa jabatan DPR hampir selesai. Jadi, harus dari awal lagi karena jalan juga masih panjang. Masih harus bikin DIM [daftar inventarisasi masalah] dan dibahas lagi.
Apalagi, kita semua tahu, Menteri Keuangan fokusnya di amendemen UU Pajak Penghasilan [PPh]. Sementara, UU Konsultan Pajak itu cantelannya kan di UU KUP [Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan]. Nah, kalau misalnya KUP enggak ada cantelannya ke UU Konsultan Pajak bagaimana? Misalnya, di pasal 32 itu enggak bilang konsultan pajak sebagai salah satu kuasa, bagaimana bisa berdiri sendiri juga itu? Jadi, ya memang harus merangkul stakeholder.
Sebenarnya, seberapa urgen adanya UU Konsultan Pajak?
Ya itu sudah mimpi lebih dari 10 tahun. Adanya UU membuat semuanya lebih teratur dan ada legal standing yang kuat. Saya ingin temen-temen semua juga tahu. Di satu sisi, kita ingin sekali punya UU. Itu suatu kebanggan. Namun, jangan lupa, kalau ada hak, ada juga kewajiban. Nah, kita kerja juga ada pihak yang mengontrol sehingga tidak hanya bebas begitu saja.
Adanya UU Konsultan Pajak dikhawatirkan mengembalikan skema monopoli karena IKPI akan menjadi wadah tunggal konsultan pajak se-Indonesia. Bagaimana tanggapan Anda?
Sebenarnya enggak ada salahnya, misalnya, bisa monopoli. Semua orang juga ingin bisa monopoli profesi kan? Ya cuma bisa enggak? Melihat situasi ya kita realistis saja. Kalau bisa monopoli ya why not? Saya rasa setiap profesi bisa monopoli ya. Dengan menjadi satu, kita bisa menciptakan standar yang baik bagi profesi konsultan pajak.
Bergeser terkait pajak, bagaimana perspektif Anda terkait dengan lanskap pajak saat ini?
Perkembangan pajak di tingkat global sebenarnya bagus untuk profesi konsultan pajak. Misalnya, dulu di perusahaan itu yang menganggap pajak penting itu hanya sebatas CFO [chief financial officer]. Namun, sekarang sudah bergeser. Pajak dianggap penting sekali dan CEO [chief executive officer] juga harus tahu. Ini karena kita masuk era transparansi.
Di era transparansi ini, mau enggak mau, pajak seharusnya semakin powerful gaungnya. Walaupun, sebenarnya kita tahu dari dulu pajak merupakan penerimaan terbesar negara. Sekarang CEO juga harus tahu karena efeknya enggak main-main kan.
Bagaimana seharusnya konsultan pajak merespons kondisi tersebut?
Ya mau enggak mau konsultan pajak harus berubah, harus upgrade. Ada perubahan zaman, perubahan teknologi, perubahan peraturan pajak, dan perubahan lainnya. Kalau konsultan pajak mau survive, ya harus bisa lebih cepat untuk beradaptasi dengan situasi. Kompetensi harus ditingkatkan lebih baik. Pajaknya saja transparan, organisasi profesi juga harus lebih transparan dan memanfaatkan teknologi.
Semangat dari tim kami adalah kami tim reformis. Kami membawa semangat transformasi IKPI yang lebih baik. IKPI yang menyongsong perubahan teknologi, transparansi, dan mendengarkan anggota. Itu adalah semangat perubahan untuk yang lebih baik lagi karena mau enggak mau ya sudah di luarnya begitu [berubah].
Lantas, menurut Anda, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?
Saya rasa dari pihak pemerintah, dalam hal ini DJP, juga sudah banyak perubahan, sudah bagus. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan sistem teknologi juga terus dijalankan. Memang salah satu aspek yang tidak boleh dilupakan masih berhubungan dengan upaya membangun kesadaran wajib pajak.
Sosialisasi seharusnya terus dilakukan, terutama terkait dengan alokasi belanja yang mengambil pos penerimaan pajak. Wajib pajak ingin melihat direct campaign sehingga diharapkan membuat mereka mau berkontribusi secara sukarela.
Bagaimana Anda menggambarkan hubungan DJP, konsultan pajak, dan wajib pajak?
Hubungan ketiga pihak ini seperti segitiga. Aspek yang paling penting dari hubungan ketiganya adalah membangun trust [saling percaya]. Kalau ada kepercayaan dan sinergi, saya rasa [efek hubungan ketiga pihak] pasti powerful.
Sampai saat ini, tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Apakah itu artinya belum ada trust?
Kalau namanya trust ya, saya bisa gambarkan begini. Misalnya, pemerintah sudah nyoba memberikan sesuatu yang baik, mulai dengan sunset policy, tax amnesty jilid I, eh, sekarang diminta tax amnesty jilid II.
Karena apa? Masih banyak pengusaha yang ternyata enggak percaya bahwa pemerintah sudah sungguh-sungguh, misalnya, sudah tax amnesty nanti enggak diapa-apain. Ternyata ada beberapa pengusaha malah bilang, “Aduh saya mending enggak ikut tax amnesty biar enggak diapa-apain. Saya ikut malah datanya udah keluar semua.” Nah, yang begitu kan butuh waktu. Ini masalah trust.
Apa prinsip hidup yang masih Anda pegang hingga saat ini?
Kalau saya sih memberikan yang terbaik. The law of attraction. Misalnya, kita memberikan kebaikan, pasti kita juga akan attract kebaikan.
Terakhir, apa yang membuat Anda lebih unggul dibandingkan kandidat lain sehingga layak untuk dipilih?
Pertama, kami sudah memiliki program kerja yang jelas. Kedua, saya bukan gender ya, tapi karakteristik wanita itu detail, luwes, dan biasa multitasking sebagai seorang ibu, pimpinan perusahan, dan istri. Jadi yang dibilang tahan banting itu sudah di sana juga. Terakhir, saya percaya kalau memang jalanya ya pasti jadi jalannya.
Jadi, jika saya terpilih, itu suatu amanah dan pengabdian. Kita harapkan kompetisi fair. Saya rasa misalnya semua fair dan demokratis, kalah atau menang itu adalah seperti saya bilang, itu amanah. Kalau semakin banyak anggota merasa pernah menjadi pimpinan dan pengurus maka rasa memiliki organisasi tumbuh. Apalagi, kita kan sekitar 4.500 orang.*