PERMINTAAN Presiden Joko Widodo agar tarif pajak penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Badan turun dari 25% ke 17% hingga menyamai tarif PPh Badan Singapura harus disikapi secara hati-hati. Diperlukan kajian mendalam untuk dapat menimbang baik buruk penurunan tarif itu demi kepentingan nasional.
Alih-alih mengiyakan langsung, sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan akan mengkaji permintaan Presiden Jokowi tersebut layak diapresiasi. Dalam situasi seperti ini, sikap kehati-hatian tentu sangat kita butuhkan. Sinyal yang muncul, RI tidak akan gegabah menurunkan tarif PPh.
Kami melihat, permintaan Presiden Jokowi untuk menurunkan tarif PPh Badan didasari oleh niat baik, yaitu untuk meningkatkan daya saing Indonesia, terutama di kawasan. Dibandingkan dengan negara-negara se-kawasan, tarif PPh badan Indonesia memang relatif di atas rata-rata, sekitar 25%: 22,8%.
Tapi niat baik saja seringkali tidak cukup. Niat baik tanpa kecermatan, kecerdikan, juga kehati-hatian, sudah tentu berisiko. Apalagi tanpa strategi dan taktik yang jitu, niat baik bisa berbuah bencana besar yang menimpa semua orang. Jangan sampai, niat baik ini kelak berakhir dengan penyesalan belaka.
Kebenaran asumsi-asumsi yang digunakan untuk kesimpulan perlunya penurunan tarif PPh Badan hingga 17% perlu diuji kembali. Apa benar daya saing kita akan terangkat jika tarif PPh badan jadi 17%. Apa benar investasi asing akan mengalir lebih deras? Apa benar kepatuhan dan penerimaan pajak akan meningkat?
Atas dasar kecermatan dan kehati-hatian itu-lah selayaknya Presiden, Menkeu, para perencana kebijakan di Badan Kebijakan Fiskal, juga para anggota DPR pembahas Paket UU Perpajakan, perlu dengan jernih melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan daya saing kita sekaligus kinerja perpajakan kita.
Kalau penurunan tarif PPh badan itu ditujukan untuk menarik investasi, berdasarkan survei terakhir Bank Dunia, dari 12 indikator yang disurvei, indikator pajak hanya menempati urutan ke-11. Peringkat 1-4 diisi oleh stabilitas politik, stabilitas makroekonomi, ketersediaan bahan baku, dan terakhir pasar domestik.
Jika penurunan itu dimaksudkan untuk menggenjot kepatuhan dan penerimaan, jangan ingkari kenyataan, bahwa setelah tarif PPh berangsur turun sejak revisi ketiga UU PPh tahun 2006, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia relatif jalan di tempat, dengan rasio pajak yang trennya menurun secara konsisten.
Jangan pula abaikan fakta, di seluruh dunia ini, harmonisasi pajak hampir seperti utopia. Harmonisasi tarif barang dan jasa, di Eropa (MEE) atau Asean (MEA), semua sudah berjalan. Tapi harmonisasi pajak? Nanti dulu. Diskusi di Eropa soal ini yang dimulai sejak 15 tahun silam toh masih menemui jalan buntu.
Jangan tutupi pula informasi, juga sejumlah kesaksian dari orang-orang yang bisa dipercaya, bagaimana bank-bank di Singapura menawarkan uang pengganti tebusan repatriasi dalam rangka program amnesti pajak nasional, dengan syarat dana yang disimpan di sana tidak dialihkan ke Indonesia.
Sampai di sini tentu kita berhak bertanya. Adakah jaminan Singapura, Malaysia, juga tetangga lainnya tidak akan ikut menurunkan tarif PPh Badannya begitu Indonesia memangkas tarif PPh dari 25% menjadi 17%? Yakinkah kita Singapura tidak akan menurunkan tarifnya? Mau seberapa kuat kita turun?*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.