TAJUK PAJAK

Menjaga Ruang Fiskal Agar Bisa Tetap Responsif

Redaksi DDTCNews
Rabu, 08 Desember 2021 | 11.15 WIB
Menjaga Ruang Fiskal Agar Bisa Tetap Responsif

Ilustrasi. Warga mengantre untuk mendapat suntikan vaksin COVID-19 di Gelanggang Remaja Makassar, Jakarta, Jumat (12/11/2021). Pemerintah menargetkan vaksinasi COVID-19 mencapai 300 juta dosis pada akhir 2021. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

FLEKSIBEL dan responsif. Bisa jadi, Anda sudah sering mendengar kedua diksi tersebut saat pemerintah menjelaskan tentang kinerja APBN pada masa pandemi Covid-19. Maklum, fiskal negara diharapkan menjadi instrumen countercyclical di tengah kondisi ekonomi yang lesu.

Menjadi masalah jika ruang untuk membuat APBN fleksibel dan responsif sangat sempit, bahkan tidak ada. Apalagi, kinerja pendapatan negara, terutama penerimaan pajak, juga kurang optimal sebelum ada pandemi. Masyarakat sudah sering mendengar kinerja tax ratio Indonesia yang masih rendah.

Kondisi yang sudah ada sebelum pandemi tersebut diperparah dengan terjadinya resesi ekonomi. Pada 2020, saat perekonomian Indonesia pada 2020 minus 2,07% dan indeks harga konsumen naik (inflasi) 1,68%, penerimaan pajak tercatat minus 19,6%.

Tentu saja performa itu juga dipengaruhi pilihan kebijakan yang diambil pemerintah. Pembatasan sosial ikut memengaruhi kinerja pengawasan dan pemeriksaan. Pada saat yang bersamaan, pemerintah menyediakan berbagai insentif pajak. Peran regulerend dari pajak lebih diutamakan.

Terbatasnya penerimaan dan tingginya kebutuhan belanja mendorong pemerintah untuk menarik utang. Untuk menciptakan ruang fiskal, limitasi defisit anggaran amanat UU Keuangan Negara akhirnya dihilangkan sementara waktu melalui Perpu 1/2020.

Defisit APBN pun disetel melampaui 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai tahun anggaran 2020. Namun, disiplin fiskal kembali diperketat mulai 2023. Dengan demikian, 2022 merupakan tahun terakhir sebelum defisit anggaran harus kembali maksimal 3% terhadap PDB.

Tentu saja yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pemerintah mendesain fiskal pada masa transisi agar tidak terjadi syok ketika limitasi defisit anggaran sudah berlaku? Pemerintah sudah menyatakan akan mulai mengoptimalkan pendapatan bersamaan dengan pulihnya perekonomian.

Secara sederhana, ketika pendapatan negara meningkat, pemerintah bisa mengurangi utang (defisit). Pada saat bersamaan, volume belanja tetap dijaga stabil, bahkan naik. Alhasil, ruang fiskal tidak berubah karena hanya terjadi perpindahan sumber pendanaan dari utang ke pendapatan negara.

Strategi itulah yang akan diambil pemerintah. Langkah yang ditempuh pemerintah ini perlu diapresiasi karena memberikan sinyal adanya upaya penyeimbangan antara kebutuhan pengumpulan pendapatan dan pemberian stimulus ekonomi.

Kita juga tahu sudah banyak kajian lembaga internasional yang mengingatkan agar dukungan fiskal pada masa pandemi tidak dicabut secara langsung dan mendadak. Penarikan dukungan, termasuk berupa insentif pajak, perlu dilakukan bertahap sambil memantau perkembangan ekonomi.

Pemerintah sendiri menyatakan upaya penerimaan pajak pada tahun depan akan mengandalkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Maklum dalam UU HPP, ada program pengungkapan sukarela (PPS) yang berlaku sekali pada Januari-Juni 2022. Sekilas memang program ini juga tidak bersinggungan langsung dengan situasi ekonomi sekarang karena menyangkut kepatuhan pajak.

Adanya PPS bisa jadi akan meningkatkan penerimaan pajak. Namun, skema penerimaan dari kebijakan ini tidak akan berulang pada tahun-tahun mendatang. Hanya satu kali. Dengan demikian, pemerintah tetap perlu mengupayakan kebijakan yang berkelanjutan.

Tidak menutup kemungkinan juga penerimaan pajak yang cukup besar pada 2022 hanya bersifat mengembalikan posisi ke sebelum pandemi terjadi. Setelah itu, kembali lagi, pekerjaan rumah mengenai optimalisasi penerimaan pajak yang sudah terjadi sebelum pandemi harus diselesaikan.

Permasalahan fundamental yang menyebabkan tax ratio masih rendah tetap perlu diatasi. Hal ini tentu saja tidak bisa diraih dalam satu waktu. Data pascaberlakunya PPS seharusnya menjadi instrumen untuk peningkatan kepatuhan pajak secara berkelanjutan.

Harapannya, APBN benar-benar sehat dalam jangka panjang. Ketika ada ketidakpastian yang mengadang, APBN bisa digunakan dengan fleksibel dan responsif serta akuntabel. Sepertinya begitu harapan orotitas fiskal yang disuarakan akhir-akhir ini. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.