Muhammad Yusaka berfoto di Taj Mahal, India. Sebelum mengikuti konferensi pajak internasional di Mumbai, 11 delegasi DDTC berkesempatan mengunjungi beberapa wilayah di India.
PENGETAHUAN tentang pajak dalam tataran internasional semakin bertambah. Hal ini saya, Muhammad Yusaka, rasakan setelah mengikuti Internasional Tax Conference di India pada pekan lalu. Kesempatan untuk menjadi salah satu dari 11 delegasi DDTC dalam konferensi itu diberikan setelah saya dan Atma Vektor Mercury menjadi juara I DDTCNews Tax Competition 2019.
Saya sangat senang karena bisa menimba ilmu perpajakan internasional dari para pakar dalam acara yang digelar oleh Foundation for International Taxation (India) dan International Bureau of Fiscal Documentation (Belanda) yang bekerja sama dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut. Perjalanan ke India ini juga menjadi kali pertama saya ke luar negeri.
Delegasi yang menghadiri konferensi ini diantaranya adalah konsultan, akuntan, ahli, profesional, dan perwakilan pemerintah dari beberapa negara. Dalam konferensi tersebut, ada beberapa isu yang dibahas, mulai dari perkembangan rencana pencapaian konsensus global 2020, perkembangan perpajakan di India dan negara Afrika, relevansi arm’s length principle, pemanfaatan teknologi di bidang perpajakan, cryptocurrencies, transfer pricing, dan berbagai isu perpajakan global lainnya.
Isu-isu perpajakan internasional yang dibawakan pada konferensi ini tentunya sangat menarik untuk dibahas, terutama terkait dengan persiapan konsensus global dalam pemajakan ekonomi digital pada 2020. Dalam acara ini, para pembicara membedah serta memberikan pendapat terkait dengan pilar pertama (unified approach) dan pilar kedua (Global Anti-Base Erosion/GloBE).
Diskusi dimulai dengan pembahasan terkait urgensi pelaksanaan konsensus global. Apalagi, telah terjadi ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Prancis. AS merasa aksi unilateral Prancis – dengan menerapkan digital service tax (DST) – merupakan langkah diskriminatif terhadap raksasa digital Negeri Paman Sam. AS berencana melancarkan aksi balasan (retaliation) melalui pengenaan tarif atas impor sejumlah komoditas asal Prancis.
Para pembicara dalam konferensi tersebut sepakat bahwa aksi perang tarif tidak dapat dibiarkan terus terjadi. Aksi unilateral dan pembalasannya berisiko memperlemah upaya untuk meningkatkan pergerakan ekonomi global. Oleh karena itu, konsensus global yang berada di bawah koordinasi OECD diharapkan segera terjadi dapat menjawab tantangan pemajakan ekonomi digital.
Adapun piliar pertama usulan OECD berfokus pada penentuan hak pemajakan dan alokasi pendapatan. Sampai saat ini, masih belum ditemukan titik terang terkait penentuan hak pemajakan karena setiap negara memiliki pendekatan pemajakan yang berbeda-beda, baik itu user participation, intangible market, maupun significant economic presence.
Disamping itu, mekanisme pengalokasian pendapatan juga masih belum ada kejelasan lantaran arm’s length principle (ALP) yang selama ini digunakan justru dipertanyakan relevansinya atas pemajakan transaksi digital.
Sementara itu, pilar kedua membahas usulan pajak minimum. Proposal GloBE berfokus pada isu penghindaran pajak dan pengembangan aturan terkait pengenaan tarif pajak minimum. Pengenalan pajak minimum global dalam proposal tersebut memunculkan perbedaan pendapat di antara para pembicara dalam konferensi tersebut.
Adanya pajak minimum global akan menghindari terjadinya kompetisi pajak yang tidak sehat dan melindungi negara-negara berkembang dari perang insentif yang merugikan. Namun, ada beberapa pembicara yang menyatakan adanya pajak minimum global justru akan membatasi kedaulatan negara untuk mengatur urusan perpajakannya sendiri. Perbedaan perspektif ini tentunya harus diselesaikan agar konsensus dapat tercapai dan berjalan dengan optimal.
Perumusan pilar pertama dan pilar kedua harus dilakukan secara hati-hati mengingat konsensus global akan memengaruhi lanskap perpajakan secara global. Masih adanya ketidaksepahaman nyatanya justru telah meningkatkan keraguan tercapainya konsensus global pada Juni 2020.
Jangan sampai, konsensus global yang akan dicapai hanya akan menjadi peraturan kosong yang tidak bisa diimplementasikan oleh setiap negara. Maka dari itu, perlu untuk segera menyelesaikan proposal yang bisa menjembatani kepentingan banyak negara dalam pemajakan digital atau konsensus global hanya akan menjadi imajinasi.
Disamping diskusi terkait perkembangan konsensus global, isu pajak internasional lainnya yang diangkat tentunya tidak kalah menarik untuk disimak. Banyak hal baru yang saya dapatkan, mulai dari wawasan lebih luas seputar pajak internasional, mengetahui bagaimana sebuah konsensus atau kebijakan terbentuk, hingga mengetahui berbagai macam masalah perpajakan secara global.
Indonesia harus terus berusaha untuk menyempurnakan regulasi dan sistem perpajakan yang berlaku. Edukasi pajak bagi stakeholder menjadi salah satu instrumen yang tepat dalam upaya perbaikan kualitas perpajakan di Indonesia. Ke depan, saya berharap agar edukasi pajak ditingkatkan, terutama bagi generasi Muda sebagai future taxpayer di Indonesia.
DDTCNews Tax Competition adalah salah satu kompetisi perpajakan bagi mahasiswa yang diadakan oleh DDTC dengan hadiah utama berupa beasiswa untuk mengikuti konferensi pajak Internasional. Tentunya, acara-acara seperti ini akan memberikan peluang bagi mahasiswa untuk melatih pengetahuan perpajakannya sekaligus meningkatkan tingkat kepedulian generasi muda terhadap perpajakan di Indonesia.
Terlebih, selain belajar, saya juga berkesempatan mencoba langsung kuliner khas India dalam rangkaian perjalanan selama menjadi delegasi DDTC di India. Apalagi, DDTC memberikan kesempatan bagi para delegasi untuk mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di India, seperti Taj Mahal dan Qutub Minar. Saya berharap DDTCNews Tax Competition selalu diadakan tiap tahunnya. Terima kasih DDTC. *