Specialist of Tax Compliance & Litigation Nia Anzolla berfoto di depan gerbang Taj Mahal India. Sebelum mengikuti konferensi pajak internasional di Mumbai, 11 delegasi DDTC berkesempatan mengunjungi beberapa wilayah di India.
LAYAKNYA negara-negara berkembang lainnya, penyalahgunaan transfer pricing ditengarai menjadi salah satu penyebab penggerusan basis pajak terbesar di Benua Afrika (ATAF, 2019). Otoritas pajak di negara-negara tersebut kemudian mulai membenahi kebijakan domestiknya untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
Perkembangan regulasi transfer pricing di negara-negara penghasil industri ekstraktif ini menjadi pembahasan dalam konferensi pajak internasional yang diselenggarakan di Mumbai, India pada 5—7 Desember 2019. Penulis, Specialist of Tax Compliance & Litigation Nia Anzolla, menjadi salah satu dari 11 delegasi DDTC yang mengikuti konferensi tersebut.
Dalam diskusi panel bertajuk ‘Tax Reforms in Africa’ yang dipimpin Belema Obuoforibu, Direktur Divisi Knowledge Centre International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD), muncul beberapa perspektif baru atas kebijakan transfer pricing di Benua Afrika.
Hingga saat ini tercatat ada 29 dari 54 negara di Benua Afrika yang menjadi bagian dari BEPS Inclusive Framework. Oleh sebab itu, negara-negara tersebut telah memberlakukan kewajiban untuk membuat dokumentasi transfer pricing bagi wajib pajak di negaranya.
Negara-negara lain yang tidak tergabung dalam forum koordinasi perpajakan global ini kemudian menanggulangi permasalahan tersebut dengan menggunakan General Anti-Abuse Rule (GAAR). Hal ini disebabkan oleh negara tersebut tidak memiliki ketentuan pajak domestik spesifik terkait transfer pricing. Republik Chad misalnya, negara ini hanya mewajibkan adanya penyampaian laporan keuangan atas transaksi internasional intragroup.
Ridha Hamzoui dari IBFD mengatakan salah satu aspek yang menarik dalam perkembangan transfer pricing di Benua Afrika adalah adanya kewajiban perusahaan multinasional untuk membuat country-by-country report (CbCR).
“Padahal, belum ada regulasi pajak domestik yang sesuai dengan Transfer Pricing Guideline yang dikeluarkan oleh OECD. Beberapa negara tersebut diantaranya adalah Senegal, Tunisia, dan Maroko,” kata Ridha.
Di sisi lain, aturan terkait transfer pricing yang tergolong maju telah diterapkan di Kenya, Nigeria, dan Afrika Selatan. Dalam konteks legal, negara-negara tersebut telah melampaui standar minimum serta memiliki ketentuan lain yang dapat meminimalisasi penghindaran pajak atas transfer pricing, baik melalui aturan thin capitalization maupun APA (Advance Pricing Agreement).
“Ketiga negara ini juga dapat dikatakan telah memiliki sistem administrasi pajak yang paling modern dan terdigitalisasi,” tutur Mustapha Ndadjiwo dari African Center for Tax and Governance.
Ferdinand Nji Tanji dari Kamerun mengatakan permasalahan terkait kebijakan transfer pricing di negara-negara Afrika tidak terhenti hanya pada pembuatan ketentuan domestiknya. Permasalahan utamanya justru terletak pada otoritas pajak.
“Mereka umumnya tidak terlalu paham mengenai transfer pricing itu sendiri,” ujarnya.
Pada akhirnya, dapat terlihat bahwa penanggulan penghindaran pajak melalui mekanisme penentuan harga transfer ini harus dimulai dari pengembangan pada sumber daya manusianya. Investasi ini diharapkan mampu menghasilkan kebijakan transfer pricing yang mumpuni beserta implementasinya untuk meminimalisasi hilangnya basis pajak.
Selain membahas ketentuan transfer pricing, diskusi panel ini juga membahas beberapa reformasi pajak lainnya di Benua Afrika. Beberapa diantaranya adalah penerapan capital gain tax, penguatan regulasi domestik untuk bentuk usaha tetap (BUT), dan pemajakan atas transaksi dengan negara tax haven.
Selain itu, diskusi panel ini juga membahas tentang reformasi pajak yang dilakukan dalam aspek administrasi perpajakan melalui ATAF (African Tax Administration Forum). Dalam forum ini, negara-negara anggotanya akan saling berkolaborasi untuk mengembangkan sistem pemeriksaan pajak di Benua Afrika.*