Specialist of Transfer Pricing DDTC Atika Ritmelina berfoto di Taj Mahal, India. Sebelum mengikuti konferensi pajak internasional di Mumbai, 11 delegasi DDTC berkesempatan mengunjungi beberapa wilayah di India.
PROPOSAL pilar pertama (Unified Approach) dan pilar kedua (Global Anti-Base Erosion) terkait pemajakan ekonomi digital yang diusulkan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memunculkan suatu pertanyaan atas posisi article 9 paragraf 1 OECD Model Covention (OECD MC) terkait Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm’s Length Principle/ ALP).
Dalam perkembangan kedua pilar tersebut, posisi ALP dalam ekonomi digital tergeser dengan metode pengalokasian laba wajar berdasarkan formula tertentu yang berlaku untuk setiap entitas di dalam grup perusahaan multinasional (Multinational Enterprise/MNE).
ALP dalam dinamika ekonomi digital menjadi salah satu topik yang dibahas dalam konferensi pajak internasional yang diselenggarakan di Mumbai, India pada 5—7 Desember 2019. Penulis, Specialist of Transfer Pricing Atika Ritmelina, menjadi salah satu dari 11 delegasi DDTC yang mengikuti konferensi tersebut.
Sim Sam, Research Fellow, SMU Center for Artificial Intelligence & Data Governance membawakan materi bertajuk ‘Going the Way of the Polaroid: Death of the OECD MC Article 9 (1) Arm’s Length Princple’. Hal yang disampaikan Sim Sam agaknya membawa beberapa perspektif baru untuk pengkajian dan penerapan ALP di bawah proposal kedua pilar terkait pemajakan ekonomi digital.
Menurutnya, ada beberapa tantangan besar ALP. Pertama, konsep ‘you cannot tax what you cannot measure’. Hal ini memunculkan pertanyaan terkait mekanisme penilaian suatu data dan user participation. Misalnya, setiap pengguna media sosial di Amerika Utara dihargai rata-rata US$35, sedangkan di Asia dihargai rata-rata US$3. Ketika hendak melakukan pemajakan, nilai dari data atau user participation itu berbeda sehingga akan menyulitkan dalam penentuan suatu kebijakan.
Kedua, tantangan classical core dari ALP dalam fondasi fundamental transfer pricing yang memiliki perspektif ekonomi klasik. ALP dalam transfer pricing melihat tiga faktor formula, yaitu fungsi, aset, dan risiko. Ketiga faktor tersebut merujuk kepada ekonomi klasik (land, labour, capital) yang melihat free market.
Artinya, tersedia perusahaan independen yang saling bertransaksi dan dengan kepercayaan bahwa harga bersifat objektif dan wajar. Selain itu, adanya kepercayaan bahwa selalu tersedianya perusahaan pembanding karena free market adalah sesuatu yang kita dapatkan secara bebas.
Ketiga, tantangan state capitalism. Artinya, semakin tinggi kepemilikan negara dalam suatu perusahaan seperti pada sektor komoditas yang harga jual belinya diatur oleh regulasi pemerintah maka pembanding independen akan sulit diperoleh. Dengan kata lain, ALP akan sangat sulit untuk diterapkan.
Akan tetapi, adanya disruption teknologi yang mengguncang eksistensi ALP pada gilirannya dapat menjadi juru selamat untuk terus melanjutkan mekanisme ALP melalui kehadiran blockchain. Teknologi tersebut dinilai memiliki kapabilitas untuk merestorasi tingkat transaksi yang sebanding.
Di samping itu, seluruh data transaksi dapat terekam sehingga mudah untuk membuka informasi dalam menemukan pembanding dan data audit antar pihak independen. Dengan demikian, blockchain dapat mengembalikan ALP ke pondasi fundamental utamanya.
Perjalanan ALP
Permasalahan teknologi dalam ekonomi digital ini bukan hal yang baru. Namun demikian, pakem ekonomi klasik masih mampu bertahan dalam mengarungi fase teknologi, setidaknya hingga saat ini. Tidak bisa dipungkiri, teknologi tidak bisa dilepaskan dari tiga pakem ekonomi klasik.
“ALP merupakan suatu Board Church di mana ALP merupakan prinsip yang elastis dan stretchable yang bertahan atas banyaknya perubahan dari waktu ke waktu,” ujar Sim Sam.
Dengan berbagai perdebatan atas posisi ALP dalam ekonomi digital, pada dasarnya ALP telah melalui fase yang cukup panjang dalam jangka waktu yang tidak sebentar, yaitu sejak 1920 hingga saat ini. ALP merupakan prinsip yang telah melalui beberapa masa seperti globalisasi atas perdagangan harta berwujud, penyediaan jasa, dan harta tidak berwujud.
Kemudian, penyempurnaan metode transfer pricing tradisional yang rentan atas pembanding dilengkapi dengan penambahan metode profit split (PSM) dan transactional net margin method (TNMM). Adapun ALP juga telah melalui masa Internet Dot-Com Boom-Bust 1990s-2000.
Selain itu, ALP juga telah melalui masa mobile capital atas atribusi laba untuk BUT dan mobile intangible dengan menggunakan Development, Enhancement, Maintenance, Protection, and Exploitation (DEMPE). Kemudian, saat ini, dilanjutkan dengan hadirnya blockchain dan restorasi tingkat transaksi yang sebanding.
Dari seluruh perdebatan dan diskusi terkait dengan posisi ALP dalam ekonomi digital, Sam menutup pemaparannya dengan catatan positif terkait keberlangsungan ALP. Menurut pemikirannya, ALP masih dapat hidup dan digunakan selama masih rasa kepercayaan terhadap ALP pada porsi tertentu.*