Benny Gunawan Ardiansyah,
PADA 22 April 2022, bersamaan dengan bulan Ramadan 1443 H, dirjen pajak menerbitkan PER-04/PJ/2022. Peraturan ini mengatur tentang badan atau Lembaga penerima zakat atau sumbangan keagamaan bersifat wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Peraturan tersebut merupakan amanat dari UU Pajak Penghasilan, PP 60/2010, serta PMK 254/2010. PER-04/PJ/2022 melengkapi PER-6/PJ/2011 terkait dengan pelaksanaan pembayaran bukti pembayaran atas zakat dan sumbangan keagamaan bersifat wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Inti dari seluruh peraturan tersebut adalah terdapat pembatasan zakat atau sumbangan kewajiban sebagai pengurang penghasilan bruto. Meskipun demikian, beberapa pihak masih belum puas dengan pengaturan tersebut.
Kebijakan yang diinginkan adalah integrasi zakat dengan pajak. Artinya, zakat langsung dapat diperlakukan sebagai kredit (pengurang) pajak penghasilan. Hal ini dapat dilihat dalam bunyi Pasal 192 UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, yakni zakat yang dibayar menjadi faktor pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan terhutang dari wajib pajak.
Karena zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang memenuhi kriteria tertentu, definisi wajib pajak dalam pasal tersebut tentunya berarti wajib pajak perseorangan. UU 11/2006 ini hanya berlaku di Daerah Istimewa Aceh agar masyarakat Aceh membayar zakat yang sekaligus sebagai pembayaran pajak.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah klausul tersebut bisa diterapkan di seluruh Indonesia?
Zakat dan Pajak Penghasilan
JIKA kita telusuri, pada UU Pajak Penghasilan dan UU 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat sebenarnya terdapat garis batas yang jelas. Pasal 4 UU 23/2011 menyebutkan zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah. Secara nominal, zakat mal memiliki nilai material, sehingga fokus perhatian akan terpusat pada zakat mal.
Secara sekilas, zakat mal lebih mendekati karakteristik pajak kekayaan. Penerapan pajak kekayaan sudah diterapkan di Indonesia, terutama pada jenis pajak daerah. Contohnya, pajak bumi dan bangunan serta pajak kendaraan bermotor.
Sementara itu, pemerintah pusat menerapkan pajak kekayaan bersifat sementara (sunset policy) dengan pelaksanaan program pengampunan pajak berdasarkan UU 11/2016 dan UU 7/2021. Dalam hal ini, terdapat persinggungan antara pajak kekayaan dan zakat.
Persinggungan tersebut juga terjadi antara pajak penghasilan dengan zakat. Pasal 4 ayat (2) huruf c hingga i UU 23/2011 memasukkan unsur-unsur yang termasuk objek pajak penghasilan ke dalam zakat mal. Hal ini dapat dilihat pada huruf h dengan pengenaan zakat atas pendapatan dan jasa.
Sangat mungkin terjadi pengenaan beban berganda pada masyarakat, yaitu pembayaran pajak sekaligus zakat. Pengenaan pajak berganda sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia, terutama atas penjualan barang-barang yang memiliki eksternalitas negatif, berupa pengenaan cukai.
Misalnya saja rokok yang dikenakan 3 jenis pajak sekaligus, yakni cukai, pajak rokok dan pajak pertambahan nilai. Akan tetapi, kebijakan pengenaan zakat sepertinya menghindari pengenaan beban yang berlebih kepada masyarakat, sehingga solusi berupa integrasi pajak dan zakat mulai dilirik.
Praktik di Berbagai Negara Islam
ISLAM di Indonesia menganut paham Sunni, yang menjadi mayoritas di negara jazirah Arab, Turki, Pakistan, India, hingga Malaysia. Penerapan hukum Islam Sunni mengacu ke Kerajaan Arab Saudi. Akan tetapi, kondisi fiskal negara-negara jazirah Arab, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Qatar, sangat berbeda dengan Indonesia.
Negara-negara tersebut memiliki pendapatan dari ekspor minyak bumi sangat besar dengan jumlah penduduk sangat sedikit. Mereka dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa memerlukan pendapatan dari pajak penghasilan individu.
Oleh karena itu, umumnya masyarakatnya hanya perlu membayar zakat kepada Zakat, Tax and Customs Authority (Kementerian Keuangan Arab Saudi). Kemudian, zakat akan diserahkan kepada Social Security Agency (Kementerian Sosial). Dapat disimpulkan, penerimaan dan penyaluran zakat dikelola langsung oleh pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Berbagai penelitian menyatakan Indonesia perlu merujuk kepada Malaysia yang telah melakukan integrasi dengan mengakui pembayaran pajak sebagai kredit pajak. Akan tetapi, terdapat perbedaan signifikan dalam hal tata kelola zakat di Indonesia dan Malaysia.
Tata Kelola zakat di Malaysia hanya dilakukan oleh Majelis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu (MAIAIM) yang ada pada setiap negara bagian. Sementara di Indonesia, berdasarkan pada UU 23/2011, terdapat 2 lembaga pengelola zakat.
Pertama, Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), yaitu lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Kedua, Lembaga Amil Zakat (LAZ), yaitu lembaga yang dibentuk masyarakat melalui tugas membantu mengumpulkan, mendistribusikan, dan pendayagunaan.
Jika kita lihat lagi dalam PER-04/PJ/2022, organisasi BAZNAZ sudah ada pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dengan melakukan pelaporan secara terintegrasi. Sementara itu, setidaknya terdapat 228 LAZ yang tersebar di seluruh provinsi yang bertindak secara independen dan telah mendapatkan pengesahan dari pemerintah.
Masih terdapat ribuan LAZ yang tetap beroperasi meskipun belum mendapatkan pengesahan. Di lain pihak, masyarakat yang memiliki antusiasme tinggi cenderung tidak mempermasalahkan atau memilih lembaga penyalur zakat.
Hal inilah yang menjadi penyebab belum terintegrasi pajak dengan zakat di Indonesia. Para praktisi seharusnya memperbaiki tata kelola zakat di Indonesia yang mengedepankan good governance, terutama transparansi publik.