OPINI

Dokumentasi Transfer Pricing sebagai Penentu Nilai Impor

Redaksi DDTCNews
Selasa, 18 Februari 2020 | 14.17 WIB
ddtc-loaderDokumentasi Transfer Pricing sebagai Penentu Nilai Impor

Toriq Rahmansyah,

Pegawai Ditjen Pajak

SEBAGIAN besar transaksi lintas batas merupakan transaksi afiliasi perusahaan multinasional atau Multinational Enterprises (MNE) dalam kelompok perusahannya. Namun, sudah sejak lama MNE mengalami ketidakpastian tentang penentuan nilai pasar atau harga wajar dari barang impornya.

Hal ini dapat terjadi karena otoritas pajak dan otoritas pabean di suatu negara mempunyai nilai perhitungan yang berbeda untuk menjawab pertanyaan yang sama: Berapa nilai pasar atau harga wajar dari transaksi afiliasi impor?

Isu itu merupakan isu global yang sering terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Perhitungan yang berbeda atas nilai pasar atau harga wajar terjadi karena kedua otoritas memiliki aturan sendiri dalam menghitung nilai pasar atau harga wajar.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas pajak di Indonesia mengadopsi panduan yang disusun Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yaitu OECD Transfer Pricing Guidelines, yang sudah secara luas digunakan oleh banyak negara di dunia.

Adapun Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) selaku otoritas pabean mengadopsi Article VII General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Walau cara dan pendekatannya berbeda, kedua panduan ini berusaha menjawab pertanyaan yang sama, yaitu berapa harga wajar atau nilai pasar transaksi afiliasi.

Kedua otoritas punya kepentingan berbeda. Dalam transaksi impor, petugas pabean berkepentingan atas nilai impor lebih tinggi agar bea masuknya lebih besar. Namun, petugas pajak berkepentingan atas nilai impor lebih rendah untuk membatasi biaya pengurang penghasilan kena pajak.

Adanya perbedaan penghitungan nilai pasar atau harga wajar tidak hanya disebabkan oleh perbedaan aturan dan kepentingan seperti yang dijelaskan tadi, tetapi di banyak negara termasuk Indonesia, juga kian kompleks karena pajak dan pabean ditangani oleh dua otoritas yang berbeda.

Pada 2015, perkembangan cukup signifikan terjadi ketika World Custom Organization (WCO) sebagai organisasi pabean dunia, mengeluarkan panduan yang berjudul “WCO Guide to Customs Valuation and Transfer Pricing”.

Panduan ini merekomendasikan sejauh mana otoritas pabean dapat menggunakan informasi dalam dokumentasi transfer pricing (TP Doc) yang merupakan dokumen yang disyaratkan oleh otoritas pajak bagi perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi untuk dapat menentukan nilai impor.

Rekomendasi ini juga sesuai dengan WCO Technical Committee on Customs Valuation (TCCV) dalam Commentary 23.1, yang menyatakan TP Doc dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk mengevaluasi kondisi-kondisi dalam transaksi impor antara pihak yang berafiliasi.

Panduan WCO juga memberikan contoh. Sebuah distributor melakukan impor dari perusahaan afiliasinya dengan nilai 82. Nilai ini dapat dianggap sebagai harga pokok pembelian (HPP) perusahaan. Apabila penjualan perusahaan 100, maka laba kotor perusahaan adalah 18.

Anggap perusahaan menanggung biaya operasional 15,5 maka laba bersih operasi perusahaan adalah 2,5. Berdasarkan TP Doc yang disusun, laba bersih 2,5% sudah memenuhi arm’s length principle dengan mempertimbangkan perusahaan pembanding dengan fungsi, aset dan risiko sejenis.

Dengan demikian, apabila nilai HPP sama dengan nilai transaksi yang dinyatakan dalam dokumen impor, dapat disimpulkan nilai transaksi tersebut tidak dipengaruhi oleh adanya hubungan afiliasi. Namun demikian, ini berarti TP Doc harus tersedia pada saat importasi dilakukan.

Sayangnya, kondisi ini hanya terjadi jika Advance Pricing Agreement (APA) telah dicapai sebelumnya antara perusahaan dan otoritas pajak. Namun, apabila APA tidak ada dan berdasarkan audit otoritas pajak 2,5% laba bersih tidak memenuhi arm’s length principle, maka koreksi fiskal akan dilakukan.

Anggap terdapat koreksi fiskal positif sebesar 2% sehingga menambah laba bersih operasi menjadi 4,5%. Maka konsekuensi logisnya adalah menurunnya HPP dari 82 menjadi 80, yang berarti juga otoritas pabean harus mengembalikan kelebihan atas pembayaran bea masuk.

Kerja Sama DJP & DJBC
TERLEPAS dari aspek teknis yang diberikan WCO, panduan tersebut juga mendorong negara anggota WCO untuk membangun komunikasi antara otoritas pajak dan otoritas pabean, seperti menyusun kelompok kerja ataupun bertukar informasi/berbagi ilmu mengenai cara menangani transfer pricing.

Lalu, bagaimana praktiknya saat ini di Indonesia? Sampai saat ini DJP dan DJBC belum memiliki ketentuan yang dapat memaksa kedua otoritas untuk dapat menghasilkan nilai yang sama atas nilai pasar atau harga wajar dari transaksi impor pihak yang berafiliasi.

Namun, kerja sama keduanya telah dibangun meski untuk tujuan lain, seperti pembentukan Tim Joint Audit berdasar Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-504/KMK.09/2015 yang diperluas KMK-302/KMK.01/2019. Hal ini menunjukkan adanya sinergi di antara kedua lembaga tersebut di bawah Kementerian Keuangan.

Di luar itu, baik DJP maupun DJBC juga memiliki target penerimaan negara setiap tahun. Karena itu dapat dipahami apabila kerja sama keduanya di bidang ini relatif lebih sulit dilakukan. Dalam contoh impor tadi misalnya,

Penerimaan pajak yang lebih besar akan menggerus penerimaan bea masuk karena akan terjadi pengembalian kelebihan pembayaran, begitupun sebaliknya. Namun, untuk memberi kepastian dan kemudahan investasi bagi perusahaan, DJP dan DJBC perlu duduk bersama mengatasi isu ini.

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.