PRAKTIK pembakaran dana atau lebih dikenal dengan istilah 'bakar uang' merupakan hal yang tidak asing bagi perusahaan rintisan (start up). Perusahaan rintisan digital di Indonesia menunjukkan kecenderungan pembakaran dana yang sangat tinggi terutama untuk ongkos pemasaran.
Katadata (2023) melaporkan bahwa perusahaan rintisan digital di Indonesia mengalokasikan 30% hingga 40% belanja perusahaan untuk pemasaran. Sebuah platform analisis bisnis, CB Insight (2023), menyatakan bahwa pada tahap awal berdiri, perusahaan rintisan mengeluarkan 40% hingga 60% pendanaan untuk marketing.
Salah satu perusahaan start up di Indonesia (dilihat dari prospektus) bahkan mengalokasikan biaya marketing pada 2021 mencapai Rp14 triliun (OJK, 2021).
Terdapat berbagai motif perusahaan rintisan digital membakar uang melalui biaya pemasaran. Di antaranya, untuk mengeskalasi pertumbuhan perusahaan secara cepat, mengurangi beban pajak, serta memanfaatkan celah dalam transparansi dan pengawasan fiskal.
Motif umum perusahaan rintisan digital melakukan 'bakar duit' pada tahap awal berdiri adalah untuk mempercepat pertumbuhan perusahaan. Laporan e-Conomy SEA (2023) menyatakan bahwa perusahaan rintisan pada tahun awal pendirian cenderung mengejar dominasi dibanding laba.
Dominasi tersebut meliputi dominasi jumlah pengguna, valuasi, dan pasar. Dengan demikian, perusahaan akan lebih fokus pada skema promosi yang agresif dibanding meningkatan profitabilitas.
Motif umum tersebut menunjukkan pola yang wajar bila hanya terjadi pada tahun-tahun awal berdiri. Namun, bila perusahaan cenderung merugi akibat biaya pemasaran yang tinggi selama bertahun-tahun, tentunya akan timbul pertanyaan terkait keberlangsungan perusahaan.
Di sisi lain, teori ekonomi neoklasik selalu menyebutkan bahwa tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan laba. Jika perusahaan mengikuti pola membakar uang dan mendapat keuntungan selain dominasi, alasan lain yang muncul tentunya adalah terkait dengan pajak.
Riset dalam International Journal of Economic and Finance Studies (2016) menyatakan biaya iklan dapat dieksploitasi untuk mengurangi pajak terutang. Hal ini disebabkan karena biaya pemasaran dalam biaya operasional digunakan untuk mengurangi laba bruto pada satu tahun.
Penelitian dari University of Maryland (2009) dan Trisakti (2022) juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara biaya pemasaran dengan praktik penghindaran pajak.
Dalam studi lain dinyatakan bahwa struktur bisnis dan biaya perusahaan memiliki pengaruh signifikan terhadap praktik penghindaran pajak melalui skema-skema khusus (Asosiasi Riset Ilmu Manajemen, 2023).
Perusahaan dapat menciptakan biaya yang tidak efisien bahkan fiktif untuk menghindari kewajiban pajak. Sejumlah perusahaan juga cenderung membebankan biaya pemasaran yang tidak wajar kepada perusahaan afiliasinya.
Minimnya transparansi itulah yang menjadi celah bagi perusahaan rintisan digital untuk meningkatkan biaya promosi.
Pengaturan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 2/2010 memang mewajibkan adanya daftar nominatif untuk dapat membebankan biaya promosi. Namun, Ditjen Pajak (DJP) tidak memberikan kewajiban perusahaan digital untuk mengungkap risiko pasar, prospek, serta linimasa pemasaran dalam siklus bisnis perusahaan. Terlebih biaya promosi tidak memiliki batasan maksimum untuk dapat dibebankan selama terdapat daftar nominatif.
Bagi DJP, skema-skema penghindaran pajak perusahaan digital selama ini merupakan bagian dari skema ekonomi bayangan. Menurut Google dan Temasek (2023), terdapat kesenjangan pajak senilai Rp400 triliun dari seluruh aktivitas perusahaan digital. Pembakaran dana melalui skema pembebanan eksesif biaya pemasaran turut berkontribusi meningkatkan kesenjangan pajak tersebut.
Indonesia perlu becermin pada beberapa negara dalam penanganan masalah ini. Kanada menerapkan pengurang pajak berbasis kinerja untuk biaya pemasaran.
Artinya, hanya biaya pemasaran yang memiliki hasil terukur yang bisa diklaim sebagai pengurang pajak. Hasil terukur tersebut meliputi prospek pelanggan dan keterkaitan dengan penjualan.
Singapura melalui Productivity and Innovation Credit (PIC) juga memberikan insentif hingga 400% pada pemasaran digital yang menggunakan sistem analitik canggih. Laporan terukur tersebut nantinya akan disampaikan kepada otoritas pajak.
Di Amerika Serikat (AS), perusahaan rintisan yang masuk bursa juga wajib mengungkapkan secara rinci biaya dan strategi pemasaran dalam laporan keuangan tahunan serta form 10-K. Hal tersebut meningkatkan transparansi fiskal di AS.
Indonesia dapat mengadopsi ketentuan ini dengan penyesuaian tertentu. Misalnya, laporan dan pengungkapan terkait dengan lini masa, prospek, dan hasil terkait dengan kontrak pemasaran perlu dilakukan dalam laporan fiskal saat penyampaian SPT Tahunan.
Strategi lain yang dapat dilakukan adalah skema disinsentif. Korea Selatan mengenakan pajak final untuk biaya pemasaran. Kebijakan ini ditujukan bagi perusahaan rintisan digital yang membebankan biaya pemasaran berlebih dan mengakibatkan perusahaan rugi. Kebijakan tersebut memberikan disinsentif fiskal atas strategi bakar uang tanpa pengembalian.
Jerman juga menerapkan metode serupa. Di Jerman, perusahaan rintisan digital dikenakan pajak tambahan progresif jika rasio biaya pemasaran terhadap omzet melebihi ambang batas tertentu.
Dengan demikian, perusahaan dengan pola pembakaran uang yang tidak terkendali harus membayar pajak lebih tinggi. Dalam hal ini, batasan biaya promosi perusahaan digital dapat diadopsi di Indonesia terutama jika perusahaan terus merugi bertahun-tahun.
Dari segi insentif non-pajak, Singapura dan Finlandia memberikan subsidi bersyarat kepada perusahaan digital yang memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut, antara lain adanya tahapan pencapaian tertentu atau adanya kegiatan komersialisasi terukur perusahaan.
Hal tersebut akan mendorong perilaku perusahaan untuk lebih fokus pada performa dan profitabilitas dibanding promosi masif.
Para akademisi di AS juga mulai mempertimbangkan kapitalisasi biaya promosi untuk perusahaan rintisan digital, alih-alih pembebanan sekaligus. Hal ini dikarenakan karakter promosi pada perusahaan digital lebih menunjukkan karakter sebagai aktiva tidak berwujud dibandingkan biaya karena memberikan manfaat dalam jangka panjang.
Bila hal tersebut dapat terealisasi, perusahaan digital akan diwajibkan membebankan biaya promosi melalui skema amortisasi untuk meminimalkan perilaku agresif perusahaan dalam pembebanan biaya.
Berbagai alternatif skema untuk menekan tingkat pembakaran dana melalui biaya promosi tersebut perlu dikaji secara mendalam bila akan diterapkan di Indonesia.
Akan tetapi, mengingat masifnya masalah tersebut, pemerintah hendaknya mulai mengambil langkah sigap dalam pengamanan penerimaan. Pertimbangan sosial, politik, dan kelangsungan bisnis perusahaan rintisan digital juga perlu menjadi perhatian agar tercipta keadilan dan iklim usaha yang sehat. (sap)