Pertanyaan:
Kapan saat terutang pajak penghasilan (PPh) Pasal 23 dalam hal perusahaan kami menganut metode pembukuan accrual basis sesuai dengan peraturan pajak yang berlaku saat ini?
Bryan Wibisono, Jakarta.
Jawaban:
TERIMA kasih Bapak Bryan atas pertanyaannya. Penentuan saat terutang PPh Pasal 23 dapat merujuk pada Pasal 15 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (PP 94/2010) yang menyatakan bahwa:
“Pemotongan pajak penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan: 1) dibayarkannya penghasilan, 2) disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau 3) jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.”
Lebih lanjut, memori penjelasan dari pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Saat terutangnya PPh Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).”
Yang dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan” adalah:
Adapun yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.
Berdasarkan pengaturan tersebut, jelas bahwa saat terutang PPh Pasal 23 ditentukan oleh keadaan yang terlebih dahulu terjadi antara saat pembayaran; disediakan untuk dibayarkan; atau saat jatuh tempo pembayaran.
Lebih lanjut, untuk mengetahui kapankah saat terutang PPh Pasal 23 dapat merujuk pada Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1506/PJ.22/1985 tentang Penegasan Lebih Lanjut atas PPh Pasal 23, yang pada butir 2 menyatakan:
“Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan pada saat terjadinya pembayaran atau pada saat pembayaran tersebut terutang (accrued).”
Selain itu pada butir 2 Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 1150/PJ.22/1985 tentang Potongan PPh Pasal 23, menjelaskan bahwa:
"Istilah 'terutang' sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) hendaknya dibaca sebagai satu kesatuan dalam hubungan kata-kata 'yang dibayarkan atau yang terutang'. Kata-kata tersebut adalah sebagai kebalikan bagi kata-kata 'yang diterima atau diperoleh' sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Apabila kata-kata 'yang diterima atau diperoleh' dalam Pasal 4 dilihat dari pihak yang mendapatkan penghasilan (wajib pajak) maka kata-kata 'yang dibayarkan atau yang terutang' dalam Pasal 23 (juga dalam Pasal 26) dilihat dari pihak yang memberikan penghasilan (pemotong pajak).
Berhubung dengan itu terutangnya PPh Pasal 23 itu harus dikaitkan pula dengan metode pembukuan dari pemotong pajak, yaitu apakah pemotong pajak mempergunakan metode cash basis atau accrual basis.
Apabila pembukuan pemotong pajak mempergunakan metode accrual basis, maka berdasarkan accrual basis itu, sewa tersebut telah merupakan biaya (apabila dilihat dari pihak wajib pajak yang mendapatkan penghasilan sewa, yang mempergunakan metode accrual basis, sewa tersebut telah merupakan penghasilan), maka PPh Pasal 23 atau Pasal 26 telah terutang.”
Mengacu pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam hal perusahaan Bapak menganut metode pembukuan accrual basis, maka saat terutang PPh Pasal 23 adalah pada saat perusahaan mengakui (accrued) biaya tersebut.
Demikian penjelasan kami. Semoga menjawab pertanyaan Bapak. (Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.