Lenida Ayumi,
BERBAGAI perusahaan di seluruh dunia diprediksi banyak yang mengalami kerugian akibat pandemi Covid-19 pada 2020. Dengan merugi, keringanan pajak perusahaan yang ditawarkan juga tidak dapat dinikmati karena memang tidak ada pajak yang harus dibayar.
Dalam konteks tersebut, banyak negara menggunakan insentif pajak agar perusahaan merugi tetap dapat menikmati fasilitas pajak. Salah satunya adalah melalui kompensasi atas kerugian (carrying loss).
Mekanisme ini merupakan konsekuensi logis dari pajak atas laba usaha. Sistem pajak tanpa perlakuan simetris terhadap kerugian merupakan hal yang dapat memengaruhi investasi dan juga peneriman negara (Sullivan, 2020).
Tanpa mekanisme ini, investasi yang memiliki risiko tinggi menjadi kurang diminati karena pajak yang dibayarkan atas penghasilan tidak sebanding dengan potensi kerugian. Sebagai akibatnya, investasi cenderung didominasi oleh konglomerasi dibandingkan perusahaan yang memiliki spesialisasi (specialized company). Hal ini justru akan mendistorsi seluruh program insentif pajak yang dikeluarkan pemerintah.
Pada saat resesi, kompensasi atas kerugian memegang peran yang lebih signifikan bagi peningkatan likuiditas perusahaan. Berdasarkan OECD Glossary of Tax Term, kompensasi ini merupakan kredit pajak yang dibawa baik ke masa pajak sebelumnya (carry back) maupun masa pajak mendatang (carry forward). Simak artikel āAda Covid-19, Berbagai Negara Beri Penangguhan dan Pengurangan Pajakā.
Carry Forward
MEKANISME carry forward digunakan pemerintah agar kewajiban pajak di masa mendatang dapat memperhitungkan kerugian yang dialami saat ini. Dalam kebijakan ini, kerugian yang dialami oleh suatu perusahaan dapat mengurangi penghasilan kena pajak selama jangka waktu tertentu di masa mendatang. Dengan begitu, pelaku usaha dapat menikmati insentif pajak tersebut ketika sudah memperoleh keuntungan.
Di situasi normal, kebijakan ini sebenarnya sudah banyak dipraktikkan di berbagai negara. Dengan adanya krisis yang disebabkan pandemi ini, beberapa negara memilih untuk memperpanjang jangka waktu penerapan carry forward bagi kerugian yang dialami perusahaan.
China merupakan salah satu negara yang memperpanjang masa carry forward. Melansir data OECD bertajuk respon pajak global masa pandemi Covid-19, perusahaan di China ākhususnya pada sektor transportasi, pariwisata, catering, dan akomodasiā dapat menerapkan mekanisme ini menjadi hingga 8 tahun ke dapan dari sebelumnya hanya 5 tahun.
Data OECD tersebut juga menunjukkan aturan serupa dari Pemerintah Slovakia. Perusahaan di Slovakia diberikan perpanjangan masa carry forward menjadi lebih dari 4 tahun dari masa kerugian terjadi.
Situs pemerintahan Peru juga telah menerbitkan kebijakan mengenai perpanjangan periode carry forward untuk tahun fiskal 2020. Dalam peraturan sebelumnya, perusahaan dapat menerapkan carry forward selama 4 tahun setelah kerugian terjadi. Namun, khusus kerugian yang dialami pada 2020, periode kebijakan ini diperpanjang menjadi 5 tahun.
Carry Back
DI sisi sebaliknya, terdapat beberapa negara lain yang memilih untuk menggunakan mekanisme carry back. Artinya, kerugian yang dialami tahun ini dapat digunakan untuk mengurangi kewajiban pajak di masa lalu dalam jangka waktu tertentu.
Berdasarkan rilis dari Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), Pemerintah Singapura memperpanjang periode carry back yang sebelumnya hanya 1 tahun, saat ini menjadi 3 tahun. Perusahaan dapat memilih untuk menerapkan carry back atas kerugian bisnis pada 2020 hingga periode tiga tahun sebelumnya (2017-2019). Adapun terdapat batasan jumlah pengurang pajak tertentu yang boleh digunakan, yaitu tidak lebih dari SG$100.000.
Di Amerika Serikat, dalam Coronavirus Aid, Relief, and Economic Security Act (CARES Act), carry back dapat diperhitungkan selama lima tahun ke belakang. Adapun kerugian yang dapat diterapkan carry back tersebut tidak hanya untuk yang terjadi pada 2020 saja, tapi juga 2018 dan 2019 (Tax Foundation, 2020).
Ketentuan serupa juga diterapkan oleh Norwegia. Data respons pajak global masa pandemi Covid-19 yang dilansir oleh OECD menyebutkan keringanan berupa carry back diperhitungkan terhadap penghasilan kena pajak dua tahun sebelumnya. Pengembalian sebesar 22% dari nilai pajak akan secara otomatis dibayarkan sebagai bagian dari laporan pajak pada 2021.
Pemerintah Polandia hingga saat ini juga tengah merencanakan hal serupa. Namun, perusahaan yang boleh mendapat fasilitas tersebut hanya yang mengalami penurunan omzet sebesar 50% atau lebih.
Awal Juni 2020, Belgia telah menyetujui rancangan peraturan terkait mekanisme carry back untuk meningkatkan likuiditas perusahaan pascapandemi Covid-19. Perusahaan dapat mengompensasi kerugian dengan menerapkan carry back penghasilan kena pajak dari tahun fiskal sebelum terjadinya pandemi. Adapun, rancangan peraturan saat ini sedang melalui proses legislasi oleh Pemerintah Belgia.
Belanda juga tengah membahas aturan percepatan mekanisme carry back terhadap laba yang dihasilkan pada 2019. Berdasarkan rilis dari Pemerintah Belanda, perusahaan dapat menerapkan carry back pada 2019 dan 2020 ketika mengajukan SPT pajak 2020 dengan batas pengajuan tidak lebih dari laba yang dihasilkan pada 2019.
Baik pembaharuan carry back maupun carry forward dilakukan oleh Selandia Baru. Pada rezim yang pertama, perusahaan di Selandia Baru dapat menerapkan carry back atas kerugian yang terjadi untuk tahun pajak 2019-2020 dan 2020-2021 ke pajak terutang tahun sebelumnya. (Brown dan Wolley, 2020)
Jika setelah dihitung dengan cara demikian terdapat surplus, perusahaan tersebut berhak mendapat pengembalian pajak (tax refund). Bagi ketentuan carry forward, pembaruan akan mulai dilakukan pada awal 2021. Namun, ketentuan carry forward tersebut hanya berlaku atas perusahaan yang masih memiliki struktur kepemilikan yang sama sebesar 49% dari kondisi ketika merugi saat ini.
Selain Selandia Baru, perusahaan di Republik Ceko juga memiliki opsi untuk mengklaim kerugian melalui mekanisme carry back selama dua tahun atau carry forward pada periode enam tahun kemudian.
Dari respons berbagai negara di atas, dapat dilihat bahwa mekanisme carry back menjadi instrumen yang lebih populer digunakan pada masa pandemi. Pasalnya, pengembalian pajak dapat diberikan terhadap perusahaan dalam jangka waktu yang lebih singkat.
Hal ini berbeda dengan mekanisme carry forward yang mana pengembalian pajak baru dapat dilakukan ketika perusahaan telah meraih keuntungan kembali. Dalam kondisi tersebut, insentif yang diberikan dapat dikatakan sudah terlambat dan tidak membantu perusahaan di saat yang tepat, yaitu saat resesi ekonomi. *