ANALISIS PAJAK

Diskusi MAP Tidak Selesai: Konsekuensi dan Alternatifnya

Redaksi DDTCNews
Kamis, 23 April 2020 | 09.00 WIB
ddtc-loaderDiskusi MAP Tidak Selesai: Konsekuensi dan Alternatifnya
DDTC Consulting

OECD telah menerbitkan Action 14 Final Report yang menyatakan perbaikan mekanisme penyelesaian sengketa merupakan komponen integral dari isu Anti-Penggerusan Basis Pajak dan Pengalihan Laba (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS).

Untuk meninjau implementasi standar minimum berdasarkan BEPS Aksi 14 oleh otoritas pajak berbagai negara, OECD melakukan peer review. Indonesia menjadi salah satu otoritas pajak yang kena evaluasi oleh OECD.

Pada 29 November 2019, OECD merilis mutual agreement procedure (MAP) peer review yang meninjau pelaksanaan kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement/APA) di Indonesia.

Salah satu usulan yang diberikan untuk Indonesia dari hasil evaluasi OECD adalah otoritas pajak Indonesia harus mempercepat pemberian position paper, sehingga tidak menghambat penyelesaian MAP dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

Deadline 2 tahun negosiasi
SETIDAKNYA terkait kurun waktu penyelesaian diskusi antarotoritas sudah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (PMK 22/2020).

Dalam Pasal 15(3) PMK 22/2020 disebutkan, ketentuan perundingan APA bilateral mengacu pada peraturan MAP yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 49/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama (PMK 49/2019).  

Pasal 5(5) PMK 49/2019 mengatur apabila dalam kurun waktu maksimum 24 bulan diskusi antar otoritas pajak tidak menghasilkan suatu kesepakatan, maka permohonan APA bilateral maupun MAP otomatis diakhiri.

Paragraf 18 Action 14 Final Report juga merekomendasikan otoritas pajak antarnegara untuk menyelesaikan MAP dalam waktu kurang lebih 24 bulan. Secara periodik, OECD juga melakukan peer review dan mempublikasikan statistik penyelesaian MAP.

Peer review ini diharapkan memberikan efek peer pressure (Pagani, 2002), sehingga MAP selesai dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Selain itu, Pasal 25 (2) OECD Model juga mendorong otoritas pajak agar mengusahakan (endeavour) menyelesaikan MAP.

Dengan kata lain, Indonesia dan negara mitra P3B terikat secara politik untuk mengusahakan MAP dapat selesai sesuai waktu yang telah ditentukan.

Arbitrase Sebagai Langkah Akhir
LANTAS bagaimana jika diskusi MAP tetap tidak menghasilkan kesepakatan dalam kurun waktu 2 tahun sesuai ketentuan?

Sehubungan dengan pelaksanaan MAP, OECD Model maupun BEPS Aksi 15 mengantisipasi kegagalan MAP dengan memberikan saran penyelesaian sengketa terakhir atau final stage berupa arbitrase.

Meski begitu, penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase selama ini masih menuai pro dan kontra di tataran global. Bagi negara-negara berkembang, arbitrase merupakan topik yang sensitif terhadap kedaulatan dan konstitusi negara (Cardoso, 2020).

Selain itu, prosedur arbitrase yang dianjurkan OECD melalui Multilateral Instrument on Tax Treaty (“MLI”) baru menyentuh isu prosedural secara makro (Pit, 2017). Artinya, detail lebih lanjut mengenai prosedur arbitrase menjadi pekerjaan rumah bagi otoritas pajak.

Di lain pihak, wajib pajak pun khawatir putusan dari arbitrase justru tidak mencerminkan keadilan. Apalagi, standar prosedur arbitrase yang ditawarkan OECD adalah baseball arbitration (Fraser, 2009).

Baseball arbitration dalam hal ini tidak mewajibkan panel arbiter untuk memberikan alasan atas putusannya (Tobing, 2018).

Meski begitu, upaya arbitrase tetap menjadi pertimbangan karena arbitrase dimaksudkan untuk mendorong tingkat keberhasilan MAP dalam kurun waktu yang ditentukan (OECD, 2016).

Arbitrase juga dianggap memberikan keadilan dan kepastian, tidak hanya bagi para wajib pajak, tetapi juga otoritas pajak terkait. Bagi wajib pajak, keadilan terwujud tersebut dalam bentuk pemberian kesempatan didengar pendapatnya.

Namun faktanya, menurut peraturan yang berlaku saat ini, perundingan MAP maupun bilateral APA hanya dilakukan antarotoritas, dan tidak melibatkan wajib pajak yang mengajukan permohonan.

Dalam hal ini, wajib pajak hanya bergantung pada hasil perundingan. Alhasil, wajib pajak sudah kehilangan kesempatan untuk memberikan penjelasan yang dapat memberikan kontribusi positif pada keberhasilan MAP.

European Union (EU) sejak 1990 sebenarnya sudah mengatur ketentuan arbitrase sebagai salah satu upaya penyelesaian sengketa pajak antar negara anggota walaupun saat itu memiliki lingkup sengketa yang terbatas (Govind, 2017).

Namun, sejak 1 Juli 2019, EU telah merilis peraturan baru melalui Council Directive (EU) 2017/185, yang memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketa pajak.

Prosedur arbitrase yang diatur dalam Council Directive mencakup batas waktu pemilihan dan komposisi panel arbiter, kerahasiaan anggota panel dan pihak-pihak yang terlibat, jenis arbitrase yang dapat dipilih, publikasi abstrak putusan arbitrase (Govind, 2017).

Praktik Arbitrase Pajak di Indonesia
MERESPONS MAP peer review oleh OECD, Indonesia menyatakan bahwa kebijakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan Indonesia tidak memasukkan ketentuan arbitrase yang wajib dan mengikat.

Di Indonesia, mekanisme pelaksanaan prosedur arbitrase terkait MAP masih belum ada. Sampai dengan MAP peer review untuk Indonesia dirilis, baru satu P3B Indonesia yang mengatur opsi arbitrase, yaitu P3B Indonesia-Meksiko (OECD, 2019).

Indonesia sempat meratifikasi MLI pada 12 November 2019 melalui Peraturan Presiden No. 77/2019, di mana tercantum reservasi dan notifikasi oleh Indonesia. Namun, reservasi atau notifikasi terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan arbitrase justru belum disentuh.

Reservasi tersebut dimaksudkan untuk mengecualikan atau mengubah akibat hukum dari ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan (Darussalam dan Danny Septriadi, 2017).

Sementara itu, Pasal 18 MLI menyatakan bahwa jika suatu negara ingin mengadopsi ketentuan arbitrase (Bagian VI MLI) harus memberikan notifikasi kepada OECD sebagai Depository.

Jika disimpulkan, sebenarnya belum jelas bagaimana posisi Indonesia terhadap penerapan arbitrase untuk penyelesaian sengketa pajak internasional, padahal rekomendasi MAP peer review agar Indonesia memberikan posisi yang jelas terkait penerapan arbitrase sudah dirilis sejak 2019.

Apabila Indonesia tidak setuju dengan penerapan arbitrase, maka setidaknya Pasal 25 (2) P3B mengenai komitmen negara untuk berusaha (endeavour) menyelesaikan MAP dalam rangka penghindaran pajak berganda perlu diterapkan secara sungguh-sungguh, dan bukan otomatis mengakhiri MAP ketika jangka waktu diskusi selama 2 tahun berakhir. (Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.