PERNAHKAH Anda terpikirkan tentang makna terdalam dari Pasal 34 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945? Dalam pasal ini disebutkan bahwa negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Mendalami arti dari pasal tersebut, negara mengemban misi untuk menyediakan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum bagi seluruh lapisan masyarakat. Salah satu bentuk manifestasi dari misi tersebut adalah pelaksanaan public service obligations (PSO).
Menariknya, belum banyak bahasan tentang perlakuan pajak, khususnya pajak penghasilan (PPh), atas pelaksanaan PSO oleh operator yang ditunjuk. Padahal, PSO lumrah dan telah banyak dilakukan.
Selain itu, umumnya, terdapat imbal balik atas PSO yang telah dijalankan. Dengan demikian, topik mengenai perlakuan PPh terhadap kompensasi atas pelaksanaan PSO menjadi sebuah celah kosong yang menarik untuk dieksplorasi lebih jauh.
Secara teoretis tidak ada definisi pasti dari PSO. Namun, definisi dari Lanneau (2021) tampaknya bisa menjadi acuan. PSO dapat dianggap sebagai seperangkat kewajiban dan batasan kebijakan penetapan harga yang diberikan negara kepada operator yang ditunjuk.
PSO akan ‘memaksa’ operator untuk menyediakan barang atau jasa publik dengan harga serta kualitas yang umumnya lebih rendah dari seharusnya. Menurut Nicolaides (2016), pengaturan harga tersebut dilatarbelakangi keinginan pemerintah agar barang atau jasa publik dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Teknisnya, tugas pelaksanaan PSO di Indonesia dilakukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) melalui penugasan khusus sebagaimana amanat Pasal 66 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Salah satu contoh dari pelaksanaan PSO oleh BUMN adalah penyediaan transportasi publik, seperti kereta api kelas ekonomi dengan harga lebih terjangkau.
Menilik lebih jauh, dalam konteks pelaksanaan PSO, BUMN dapat dilihat sebagai perpanjangan tangan pemerintah agar layanan publik lebih terjangkau. Pemerintah seolah-olah memberikan subsidi secara tidak langsung kepada masyarakat.
Tentunya, pelaksanaan PSO mengharuskan adanya suatu kompensasi yang diterima oleh BUMN. Kompensasi ini merupakan hal logis sebagai timbal balik atas pelaksanaan PSO yang seharusnya menjadi tugas negara, tetapi ‘dialihkan’ kepada BUMN. Secara konservatif, BUMN hanya dapat menagihkan biaya operasional atas pelaksanaan PSO yang dilakukan.
Mengutip kembali dari Lennau (2021), jika tidak memiliki keharusan untuk diberikan kompensasi maka suatu kewajiban—meskipun berlaku untuk kepentingan publik—bukan merupakan PSO.
Dengan demikian, kompensasi merupakan konsekuensi logis dari substansi pelaksanaan PSO. Satu hal yang pasti, kompensasi tidak boleh melebihi dari nilai yang diperlukan untuk membiayai pelaksanaan PSO (Zajac, 2015).
Pertanyaannya, apakah kompensasi yang diterima oleh BUMN atas pelaksanaan PSO menjadi objek PPh bagi BUMN? Bisa jadi, hal ini menjadi salah satu pertanyaan yang kerap diperbincangkan tetapi tidak pernah secara mutlak terselesaikan.
Wajar saja, hal tersebut lantaran dalam UU PPh saat ini, tidak ada penyebutan PSO yang secara spesifik masuk, baik ke dalam objek PPh maupun non-objek PPh sebagaimana dilihat dalam Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) UU PPh. Untuk itu, agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengeksplorasi lebih jauh substansi dari kompensasi PSO.
Tujuan dari kompensasi dapat dilihat sebagai bentuk penggantian biaya operasional yang harus dikeluarkan BUMN atas pelaksanaan PSO. OECD (2024) menyebutkan ada beragam metode pemberian kompensasi PSO. Mulai dari transfer langsung, hibah modal, penggantian biaya (reimbursement) dan alokasi anggaran, hingga bantuan atau subsidi negara.
Melihat argumentasi tersebut, dapat dilihat PSO menjadi sebuah bantuan atau subsidi yang diberikan negara kepada masyarakat lewat BUMN. Secara tidak langsung, BUMN menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk memberikan bantuan atau subsidi. Artinya, kompensasi secara tidak langsung bukan ditujukan untuk BUMN, melainkan masyarakat.
Berdasarkan pada benefit principle (Sener, 1997), PPh dikenakan kepada individu yang menerima manfaat secara langsung. Dalam hal kompensasi PSO hanya bersifat reimbursement maupun subsidi atau bantuan kepada masyarakat, BUMN dapat dilihat tidak menerima suatu manfaat atas kompensasi yang diterima. Dengan demikian, tidak ada tambahan kemampuan ekonomis bagi BUMN atas kompensasi PSO yang diterima.
Adapun yang menjadi isu selanjutnya adalah jika kompensasi PSO yang ditagihkan BUMN melebihi dari jumlah biaya penyelenggaraan PSO yang dilakukan (overcompensated). Misalnya, BUMN menagihkan kompensasi PSO yang terdiri atas penagihan biaya operasional PSO ditambah dengan margin. Dengan kata lain, terdapat margin terselubung dalam penagihan kompensasi PSO.
Berdasarkan pada penjelasan OECD (2014), jika suatu entitas mendapatkan kompensasi melebihi dari jumlah penyelenggaraan PSO, hal ini dapat mengakibatkan subsidi tidak langsung untuk kegiatan komersial entitas tersebut.
Jika terjadi overcompensated maka kompensasi PSO tersebut akan menjadi suatu dana untuk menggerakkan kegiatan komersial BUMN. Artinya, terdapat sebagian dari kompensasi PSO yang dapat digunakan oleh BUMN untuk dikonsumsi ataupun ditabung.
Merujuk pada konsep Schanz, Haig, dan Simon (konsep SHS), overcompensated dapat mengantarkan pada adanya tambahan kemampuan ekonomis dari BUMN. Dengan demikian, pada saat terjadi overcompensated PSO maka dapat diinterpretasikan bahwa terdapat suatu bentuk penghasilan yang diterima oleh BUMN.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)