ANALISIS PAJAK

Menyoroti Kebijakan Pajak Berupa Penerapan Period Tax

Redaksi DDTCNews
Rabu, 21 Agustus 2024 | 15.33 WIB
ddtc-loaderMenyoroti Kebijakan Pajak Berupa Penerapan Period Tax
Senior Manager of DDTC Consulting

SALAH satu bentuk bias gender dalam sistem pajak yang menarik untuk diperbincangkan adalah period tax atau tampon tax. Istilah ini merujuk pada pengenaan pajak, umumnya berupa pajak penjualan atau pajak pertambahan nilai (PPN), atas pembalut, tampon, dan produk saniter menstruasi lainnya (Crawford dan Spivack, 2017).

Dengan kata lain, period tax bukanlah jenis pajak khusus, melainkan istilah untuk menyoroti pengenaan pajak atas produk menstruasi (Jurga, Yates, dan Bagel, 2020). Meskipun diterapkan di berbagai negara, period tax sarat isu diskriminasi. Pasalnya, pajak ini hanya dikenakan kepada perempuan. Hal ini mengingat hanya perempuan yang menggunakan produk saniter menstruasi (Rodriguez, 2019).

Pajak tersebut juga digambarkan sebagai kontributor utama dari fenomena period poverty atau menstrual poverty (Calderón-Villarreal, 2023). Period poverty merupakan kondisi yang merujuk pada ketidakmampuan untuk membeli atau mengakses produk-produk saniter menstruasi, fasilitas sanitasi dan kebersihan, serta pendidikan dan kesadaran pengelolaan kesehatan menstruasi (UN Women Organization, 2024).

Berdasarkan pada data World Bank pada 2022, sekitar 500 juta wanita di seluruh dunia mengalami period poverty karena tidak memiliki akses terhadap produk saniter menstruasi dan fasilitas yang memadai. Adanya period tax dianggap memperparah kondisi itu. Period tax juga dianggap tidak adil sekaligus menjadi salah satu elemen dari pajak yang secara eksplisit bersifat bias (Buettner, Hechtner, dan Madzharova, 2023)

Tak ayal, penerapan pajak ini memicu berbagai kampanye global dengan satu tujuan, yakni dihapuskannya period tax. Di Amerika Serikat, kampanye penghapusan period tax sempat digaungkan oleh aktivis feminis pada 2016 (Ooi, 2018).

Kampanye serupa pun terjadi di berbagai negara, seperti Australia, Kanada, dan Malaysia (BBC News, 2015). Sementara itu, di Skotlandia, kampanye ini tidak hanya memiliki agenda menghapus period tax, tetapi juga untuk memberikan akses gratis terhadap produk saniter menstruasi (Chen, 2022).

Lantas, pertanyaannya, bagaimana pemberlakuan period tax dewasa ini? Benarkah banyak negara yang mulai mengubah kebijakan terkait dengan pajak ini?

Berdasarkan pada data yang dihimpun oleh periodtax.org (2024), penerapan period tax dapat digolongkan menjadi tiga jenis. Pertama, pengenaan tarif 0%. Contohnya, Afrika Selatan memberlakukan sejak akhir 2010, Kanada mulai menerapkan pada 2019, United Kingdom (UK) mulai memberlakukan pada 2021, serta beberapa negara lain.

Kedua, pembebasan pajak. Hal ini seperti yang terjadi di Kenya dan Korea Selatan, dua negara yang pertama kali mengubah kebijakan period tax, tepatnya pada awal 2004. Selain itu, pembebasan pajak atas produk saniter menstruasi juga diterapkan di Australia, Malaysia, India, Jamaika, Maladewa, Lebanon, serta beberapa negara lainnya.

Ketiga, penurunan tarif. Kebijakan ini diterapkan oleh lebih dari setengah negara Uni Eropa, seperti Jerman, Italia, Prancis, Luksemburg, Belanda, Portugal, Polandia, Belgia, dan Spanyol. Penerapan penurunan tarif ini tidak terlepas dari adanya ketentuan Uni Eropa yang mengizinkan produk saniter menstruasi dikenakan pajak dengan tarif terendah, tetapi tidak dengan tarif 0% (Jurga, Yates, dan Bagel, 2020).

Nyatanya, tidak semua negara menyetujui perubahan dalam penerapan period tax. Misal, Kroasia. Pemerintah negara ini telah dua kali menolak proposal penurunan tarif PPN untuk produk saniter perempuan. Alasannya, penurunan tarif tidak menjamin harga akan turun sehingga dianggap tidak akan mengakomodasi solusi yang sistematis (Grgurinovic, 2021). Slovakia juga menjadi negara yang menolak penghapusan period tax.

Bagaimana dengan Indonesia?

SAAT ini, produk saniter menstruasi masih dikenakan PPN di Indonesia dengan tarif standar sebesar 11%. Di sisi lain, berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), dari total jumlah penduduk 275,7 juta jiwa pada 2023, ada sebanyak 136,3 juta orang perempuan. Sebanyak 68,52% penduduk perempuan masuk usia produktif. Data ini mengindikasikan bahwa banyak perempuan Indonesia yang masih mengalami menstruasi.

Mengacu pada kondisi di atas dan fakta bahwa pembelian produk saniter menstruasi menjadi biaya tertinggi dalam pengelolaan kesehatan menstruasi (Bulsari, Pandya, dan Desar, 2022) maka layak menjadi pertanyaan, apakah Indonesia perlu menghapuskan PPN atas produk saniter?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dari dua perspektif. Pertama, PPN atas produk saniter menstruasi patut dihapuskan. Alasannya, produk ini merupakan kebutuhan dasar yang penting dalam memelihara kesehatan perempuan.

Sulitnya perempuan mengakses produk menstruasi, dapat menurunkan tingkat kesehatan yang berujung pada rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, produk saniter dapat digolongkan sebagai merit goods, yaitu barang yang memiliki manfaat tinggi bagi masyarakat secara menyeluruh sehingga harus disediakan (Greene, 2021).

Berdasarkan pada Tait (1998), barang dan jasa yang bersifat meritorious dapat diberikan fasilitas PPN berupa pembebasan atau tarif 0%. Ditambah lagi, menurut Boakye-Yiadom (2018), penghapusan pajak atas barang esensial atau merit goods dapat mendorong tingkat konsumsi.

Ketentuan PP 49/2022, yang merupakan ketentuan penerapan fasilitas pembebasan PPN atau PPN tidak dipungut, telah mengatur bahwa barang yang menjadi kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dibebaskan dari pengenaan PPN. Selaras dengan sifat produk saniter menstruasi, merujuk pada ketentuan ini, produk tersebut layak untuk dibebaskan dari PPN. 

Kedua, penghapusan PPN atas produk saniter tidak perlu dilakukan. Perspektif ini dilatarbelakangi oleh pendapat de la Feria (2022) dalam Why We Should All Worry About the Abolition of the Tampon Tax. Dalam tulisannya, de la Feria menyebutkan penghapusan pengenaan pajak tidak akan mengakibatkan penurunan harga secara penuh.

Dengan asumsi penghapusan period tax akan memengaruhi harga, perempuan yang lebih kaya mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan manfaat dibandingkan perempuan yang lebih miskin. Akibatnya, tujuan dari penghapusan ini, yaitu untuk melindungi perempuan berpenghasilan rendah, tidak tercapai.

Selain itu, de la Feria (2021) juga menganggap penghapusan period tax sebagai kebijakan yang ‘buruk’ mengingat pengeluaran pajak (tax expenditure) yang diakibatkan penerapan pengecualian PPN cenderung sangat signifikan.

Terlepas dari adanya pendapat berbeda mengenai penghapusan pajak atas produk saniter menstruasi, kebijakan fiskal mempunyai peran penting dalam membentuk tatanan kehidupan di masyarakat. Oleh karena itu, dalam konteks period tax, pemerintah perlu secara cermat memilih bagaimana pajak ini diterapkan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.