ANALISIS PAJAK

Catatan Digitalisasi Pajak Indonesia

Redaksi DDTCNews
Selasa, 15 Oktober 2019 | 15.00 WIB

MEDINA dan Schneider (2018) mengestimasi nilai shadow economy pada 2005-2015 sebesar 26,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Shadow economy merupakan aktivitas bisnis yang tidak terdeteksi dalam radar Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Aktivitas shadow economy tersebut sulit dipajaki (hard-to-tax) dan sebagian dianggap sebagai bentuk manipulasi pajak. Ada pula kepemilikan aset di luar negeri yang terindikasi tidak dilaporkan oleh wajib pajak ke DJP.

Sandford, Godwin, dan Hardwick (1989) menyimpulkan cara yang efektif untuk menanggulangi pajak yang dimanipulasi adalah dengan menyederhanakan aturan pajak. Salah satu bentuk sederhananya adalah dengan memangkas proses pelayanan pajak dengan menggunakan inovasi teknologi.

Dalam proses pelayanan pajak, inovasi teknologi dianggap akan memberi dampak positif dan negatif bagi otoritas pajak. Singkatnya, inovasi teknologi dapat mempermudah sekaligus mempersulit otoritas pajak dalam mengumpulkan penerimaan pajak, terutama di era ekonomi digital.

Sejauh ini berbagai inovasi teknologi telah dilakukan oleh DJP dalam memberikan pelayanan ke wajib pajak, termasuk digitalisasi. Pada 2007, DJP merilis e-Filing, aplikasi berbasis web milik pemerintah. Fitur utama aplikasi ini adalah menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT) secara online.

Setelah satu tahun rilis, terdapat 93% WP orang pribadi yang melapor SPT PPh menggunakan e-Filing. Sementara itu, baru 73% WP badan yang melapor dengan e-Filing. Jargon “Di mana saja, kapan saja,” dan “Lebih awal, lebih nyaman” pun disosialisasikan secara masif.

Lebih lanjut, pada 2014 DJP merilis e-Faktur yang memiliki fitur penyampaian faktur pajak secara elektronik. Perilisan e-Faktur ini tidak terlepas dari fakta ditemukannya 100 kasus faktur pajak fiktif pada 2008-2013 dan hampir setengahnya merupakan kasus penyalahgunaan faktur pajak.

e-Faktur diimplementasikan berkala, mulai dari 45 wajib pajak (pengusaha kena pajak/PKP) tertentu. Pada 2015 cakupannya diperluas ke PKP yang terdaftar di sejumlah kantor pajak. Pada pada 2016, e-Faktur diberlakukan untuk seluruh PKP se-Indonesia tetapi realisasi penerimaan PPN malah turun.

Inovasi teknologi pelayanan pajak pun tak berhenti di situ. Pada 2016, DJP mengenalkan e-Billing. Apabila e-Filing dan e-Faktur memiliki fitur utama melaporkan pajak, e-Billing menjadi terobosan yang mewujudkan pembayaran pajak secara online.

Sistem ini menggantikan sistem pembayaran manual yang menggunakan antara lain Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Bukan Pajak, Surat Setoran Pengembalian Pajak, dan seterusnya. Sayang, masalah koneksi yang sering terputus masih terjadi hingga saat ini.

Era Transparansi
BERIKUTNYA ada e-Reporting yang pernah diatur dalam program pengampunan pajak 2016-2017. Saat itu, wajib pajak diampuni dari kewajiban pajaknya diminta mengakui harta (aset) yang belum atau tidak pernah dilaporkan ke DJP.

Berkat e-Reporting, otoritas dan wajib pajak mulai bergerak masuk ke era transparansi. Ini ditandai dengan komitmen Indonesia untuk melakukan pertukaran informasi keuangan untuk tujuan pajak dalam skala global.

Pertukaran ini pun tidak dapat lepas dari pemanfaatan inovasi teknologi. Melalui optimalisasi penggunaan teknologi digital, informasi keuangan, tax rulingbeneficial ownership, dan Country by Country Report (CbCR) pun dapat dipertukarkan.

DJP juga bekerja sama dengan jasa penyedia aplikasi (application service provider/ASP) pihak ketiga seperti online-pajak.com, spt.co.id, pajakku.com. ASP mengembangkan aplikasi guna mengoptimalkan kepatuhan pajak. Aplikasi ini memiliki fitur menghitung, menyetor, dan melapor pajak.

Teranyar, pada Mei 2019 DJP meluncurkan e-Bupot. DJP meluncurkan aplikasi untuk melancarkan pelayanan administrasi ke wajib pajak pemotong PPh Pasal 23 dan Pasal 26 (withholding tax). Bukti potong juga sudah online dan berbasis Modul Penerimaan Negara Generasi Kedua (MPN-G2).

Selanjutnya, pada Juni 2019, DJP pun melakukan transformasi organisasi dengan membentuk dua unit baru. Pertama, Direktorat Data dan Informasi Perpajakan. Kedua, Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi. Pembentukan kedua unit ini menjadi langkah strategis DJP di era digital.

Perlu diperhatikan, berkembangnya penggunaan inovasi teknologi dalam pemberian pelayanan pajak bukan tanpa masalah. Misalnya, e-Filing dan aplikasi e-Faktur tidak dapat mendeteksi secara simultan masa ke masa jumlah lebih bayar yang dikompensasikan ke bulan berikutnya atau masa tertentu.

Permasalahan lainnya terjadi dalam penggunaan e-Filing pada April 2019. Sistem ini sempat meminta 90.000 WP badan untuk melaporkan ulang SPT-nya. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan sistem membaca berkas e-SPT yang diunggah oleh wajib pajak.

Terlepas dari dampak positif dan negatif yang ditimbulkannya, inovasi teknologi berupa digitalisasi pelayanan pajak pada akhirnya akan memberikan kepastian waktu, efisiensi, dan transparansi sehingga akan membuat kepatuhan pajak lebih mudah tercapai (Darussalam, 2019).

Pemerintah melalui DJP pun sudah bergerak ke arah yang positif dalam mengadopsi teknologi. Ditambah, DJP kini tengah mengembangkan core tax system yang berbasis teknologi dan akan selesai pada 2021, serta diharapkan dapat menutup gap digitalisasi.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.