ANALISIS fungsional, aset, dan risiko (analisis FAR) merupakan suatu komponen penting dalam analisis transfer pricing guna untuk memahami transaksi yang diuji dan membantu dalam mencari pembanding yang tepat (Kenkre, 2018).
Paragraf 1.51 OECD TP Guidelines mendefinisikan analisis FAR sebagai analisis yang bertujuan untuk mengidentifikasi signifikansi ekonomi dari aktivitas dan tanggung jawab yang dilakukan, aset yang digunakan, dan risiko yang ditanggung pihak yang melakukan transaksi (OECD, 2017).
Dengan kata lain, analisis FAR bertujuan untuk mengidentifikasi setiap komponen dari transaksi bisnis dengan melakukan step by step analysis atau dengan kata lain mengidentifikasi keseluruhan aktivitas nilai tambah (penciptaan nilai) (Feinschreiber, 1993).
Aktivitas nilai tambah juga akan mengidentifikasi risiko-risiko spesifik yang berhubungan dengan transaksi tersebut. Risiko-risiko tersebut dapat berhubungan langsung dengan transaksi maupun konsumen.
Salah satu cara yang digunakan dalam analisis FAR adalah mewawancarai pihak yang berkait dengan transaksi yang ingin diuji atau disebut dengan wawancara analisis FAR. Dalam wawancara itu, pewawancara berinteraksi dengan narasumber dan melakukan pengambilan keputusan.
Pewawancara bisa saja gagal mengidentifikasi hasil wawancara analisis FAR. Misalnya, pewawancara gagal dalam mendeskripsikan kontribusi utama terhadap penciptaan nilai. Dalam beberapa kasus, pewawancara salah dalam mengidentifikasi kesatuan fungsi, aset, dan risiko sebagai inti terhadap penciptaan nilai. Dalam hal lainnya, catatan tertulis dari hasil wawancara bisa saja tidak konsisten atau salah interpretasi dari ingatan atau memori narasumber.
Selain itu, wawancara analisis FAR, seperti interaksi manusia lainnya, dapat dipengaruhi bias pada pewawancara dan narasumber sehingga tidak dapat dimungkiri wawancara analisis FAR dapat dipengaruhi bias para pesertanya. Salah satu bias yang sering dilakukan pewawancara adalah bias jabatan (Pansé, 2019). Lantas, bagaimana mengatasi terjadinya bias jabatan tersebut?
Bias Jabatan
ANALISIS FAR fokus pada apa yang sebenarnya dilakukan dan kapabilitas yang dimiliki masing-masing entitas individu dalam grup. Secara tradisional, terdapat dua cara dalam melakukan analisis FAR, yaitu cara pasif dengan menelaah dokumen atau data yang tersedia dan cara aktif dengan mewawancarai setiap divisi yang melakukan fungsi bisnis.
Tujuan dari wawancara adalah melihat keseluruhan peran dan fungsi dalam suatu bisnis perusahaan. Wawancara dapat dilakukan dengan mengidentifikasi seluruh entitas yang terlibat dalam kesatuan supply chain guna mendapatkan gambaran awal dari fungsi atau kontribusi yang diberikan oleh suatu entitas.
Proses wawancara dengan personel kunci setiap divisi perlu dilakukan untuk memahami peran yang dilakukan serta mengidentifikasi nilai yang dihasilkan atas peran tersebut dalam kesatuan entitas bisnis (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2013).
Hasil wawancara analisis FAR mungkin kurang memuaskan dalam beberapa kasus sebagaimana pewawancara gagal mendeskripsikan kontribusi pokok atas pembentukan nilai atau salah dalam mengidentifikasi serangkaian fungsi, aset, dan risiko sebagai inti dalam pembentukan nilai. Singkatnya, hasil dari wawancara analisis FAR tidak mencapai tujuan yang diinginkan.
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi hasil wawancara analisis FAR, yaitu interaksi manusia (pewawancara-narasumber) dan pengambilan keputusan. Ketika terjadi human error dalam interaksi atau pengambilan keputusan tersebut, hal ini dinamakan bias kognitif.
Bias kognitif merupakan kesalahan dalam bernalar, mengevaluasi, mengingat, atau proses kognitif lainnya. Bias kognitif sering terjadi sebagai akibat berpegang pada preferensi dan keyakinan terlepas dari informasi yang bertentangan (Weinstein, 2002).
Salah satu jenis bias kognitif yang sering terjadi dalam wawancara analisis FAR adalah bias jabatan (Pansé, 2019). Bias jabatan terjadi ketika pewawancara memilih narasumber yang salah untuk wawancara analisis FAR, karena umumnya pewawancara hanya melihat berdasarkan jabatan pekerjaan narasumber. Secara implisit, dapat diasumsikan orang-orang pada level atas suatu organisasi lebih banyak memahami bisnis organisasi tersebut.
Dalam bias jabatan, terdapat kemungkinan besar bahwa pewawancara akan dibutakan oleh informasi yang diberikan oleh tokoh narasumber sehingga dapat mengarah pada kesimpulan analisis yang tidak optimal.
Sebagai contoh, untuk melakukan analisis FAR Facebook, tampaknya ideal untuk mewawancarai CEO-nya (Mark Zuckerberg). Diasumsikan, Mark lebih memahami bisnis Facebook dibandingkan dengan personel lain pada level lebih rendah. Informasi tentang Facebook yang berasal dari Mark cenderung lebih diambil nilainya dan sedikit untuk dipertanyakan.
Faktanya, titel jabatan pekerjaan bisa menyesatkan pewawancara. Hal ini tidak mengherankan karena umumnya setiap orang akan cenderung memilih fungsi yang menurut mereka penting untuk diwawancarai tanpa memahami rantai nilai bisnis utama yang mendasarinya.
Misalnya, aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D) umumnya dipandang sebagai fungsi yang cukup penting. Namun, R&D mungkin bukan fungsi sangat penting di beberapa industri tertentu (Pansé, 2019). Karena itu, diperlukan praktik yang tepat dalam tahapan memilih narasumber.
Untuk memastikan pewawancara telah mewawancarai narasumber yang tepat adalah dengan menggunakan bagan organisasi yang menyediakan struktur seperti pohon terbalik yang berisi tentang ‘siapa yang melapor kepada siapa.’
Cara ini akan mengurangi kemungkinan terjadinya bias karena deskripsi peran. Konsisten dengan paragraf sebelumnya, melakukan penelitian terhadap pihak yang akan diwawancarai mungkin bermanfaat dalam mengatasi bias jabatan.
Meminimalkan Bias Jabatan
UNTUK mengurangi bias jabatan dalam melakukan wawancara analisis FAR, perusahaan perlu melakukan wawancara lebih lanjut untuk memperoleh lebih banyak detail dalam mempersiapkan dokumentasi transfer pricing.
Praktik terbaik yang dapat dilakukan sebelum melakukan wawancara, misalnya, membagikan informasi kepada narasumber terlebih dahulu untuk membantu narasumber mempersiapkan diri. Informasi tersebut dapat mencakup uraian singkat tentang tujuan rapat, agenda diskusi, daftar tahun yang ditinjau, badan hukum yang terlibat, dan setiap informasi yang dirangkum untuk konfirmasi atau penambahan oleh narasumber.
Untuk melakukan wawancara efektif, terdapat beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pewawancara. Pertama, pewawancara harus menghindari memberikan daftar pertanyaan spesifik kepada narasumber terlebih dahulu.
Pemberian daftar pertanyaan sebelum wawancara dikhawatirkan membuat narasumber mempersiapkan jawaban terlebih dahulu sehingga jawaban narasumber saat wawancara tidak bersifat spontan sehingga diragukan tingkat validitasnya. Kedua, pewawancara harus membuat pertanyaan atas keseluruhan operasional bisnis dan yang berfokus kepada transaksi antarperusahaan.
Terakhir, pewawancara harus mewawancarai narasumber berbeda untuk memperoleh berbagai perspektif sehubungan dengan isu pokok yang akan digali. Dengan cara ini, pewawancara dituntut memahami keseluruhan departemen dan fungsi untuk memahami rantai nilai perusahaan (Business, 2011).
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bias jabatan mungkin saja terjadi dalam wawancara analisis FAR. Salah satunya adalah bias jabatan dalam memilih narasumber. Cara terbaik untuk memilih narasumber yang dibutuhkan adalah narasumber yang memahami peran yang dilakukan serta mengidentifikasi nilai yang dihasilkan atas peran tersebut dalam kesatuan bisnis perusahaan. (Annisa Sakdiah)