ANALISIS PAJAK

Rekarakterisasi Utang Menjadi Modal dan Yurisprudensinya

Redaksi DDTCNews
Rabu, 09 Oktober 2019 | 12.45 WIB
ddtc-loaderRekarakterisasi Utang Menjadi Modal dan Yurisprudensinya
DDTC Consulting

KEBUTUHAN pendanaan perusahaan biasanya dipenuhi dengan campuran antara pembiayaan dalam bentuk pinjaman dan modal. Pembiayaan dalam bentuk pinjaman lebih menarik bagi perusahaan dibandingkan dengan pembiayaan dalam bentuk modal.

Hal ini disebabkan perlakuan pajak yang berbeda antara pembayaran bunga dan dividen. UU Pajak Penghasilan (PPh) memperkenankan pembayaran bunga dikurangkan dari penghasilan bruto sepanjang biaya itu merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

Sebaliknya, pembayaran dividen sama sekali tidak diperkenankan dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Adanya perbedaan perlakuan tersebut dapat digunakan perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak ketika memilih jenis pembiayaan.

UU PPh telah memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menentukan rasio antara utang dan modal perusahaan (debt to equity ratio atau DER) untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan. Aturan tersebut dikenal sebagai thin capitalization rules.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169 tahun 2015 telah ditetapkan besarnya rasio antara utang dan modal perusahaan paling tinggi 4 banding 1. Selain untuk mencegah perusahaan memiliki pinjaman dalam jumlah besar yang melebih jumlah modalnya, aturan tersebut digunakan untuk mendeteksi adanya modal terselebung melalui pinjaman (Rohatgi, 2002).

Khusus bagi wajib pajak yang mempunyai utang dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, selain harus memenuhi batasan DER dan utang tersebut berkaitan dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, biaya pinjaman atas utang tersebut juga harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha seperti diatur Pasal 18 ayat (3) UU PPh.

Ketentuan tersebut memberikan kewenangan kepada Ditjen Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal. Ketika Ditjen Pajak mengarakterisasi ulang utang menjadi modal, biaya bunga pinjaman akan dianggap sebagai dividen. Konsekuensinya biaya itu tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible expense).

Berdasarkan Marjaana (2010), terdapat beberapa perbedaan paling mendasar antara utang murni dengan modal murni. Pertama, hubungan antara kreditur dan debitur didasarkan pada perjanjian utang piutang (pinjaman), sementara hubungan kepemilikan saham didasarkan undang-undang perusahaan, misalnya di Indonesia melalui UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Kedua, adanya klausul berupa kewajiban debitur untuk mengembalikan dana yang diperoleh dari kreditur pada waktu tertentu, sementara hal tersebut tidak berlaku bagi pemegang saham. Ketiga, investasi dalam bentuk modal bersifat terus menerus atau berkelanjutan, sementara inventasi dalam bentuk utang bersifat sementara.

Keempat, kreditur berhak atas imbal hasil yang tetap, meskipun debitur dalam kondisi merugi. Sementara, pemegang saham akan mendapatkan imbal hasil hanya ketika anak perusahaan membagikan laba.

Yurisprudensi
KETENTUAN domestik Jerman mengatur instrumen keuangan dalam bentuk utang (interest-generating debt) akan dikarakterisasi ulang sebagai instrumen keuangan dalam bentuk saham (dividend-generating equity) apabila terdapat klausul yang memberikan hak bagi kreditur untuk dapat menikmati bagian laba usah dan hasil likuidasi (Barsch dan Olbert, 2015).

Mahkamah Agung Belanda dalam putusannya pada 1988 menyatakan suatu instrumen keuangan yang dianggap sebagai utang menurut hukum atau undang-undang perusahaan, juga akan diperlakukan sama untuk tujuan perpajakan sepanjang terdapat klausul adanya kewajiban pengembalian dana dari debitur kepada kreditur (Kok, 2014).

Sementara itu, di Indonesia, Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-44535/PP.VI/15/2013 kiranya perlu menjadi perhatian bagi wajib pajak, khususnya bagi yang mempunyai utang dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Putusan pengadilan pajak tersebut berkaitan dengan sengketa koreksi biaya bunga pinjaman yang didasarkan atas karakterisasi ulang transaksi pinjaman menjadi modal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dalam persidangan terbukti bahwa ketentuan dan syarat-syarat pinjaman yang diberikan tidak memuat klausul terkait dengan kewajiban dan jadwal pembayaran pokok pinjaman dan penalti atau denda apabila debitur (wajib pajak) tidak membayar pokok dan bunga pinjaman.  

Isu pajak dalam transaksi pinjaman antarpihak yang mempunyai hubungan istimewa tidak hanya terbatas pada deductibility dan besaran rasio DER, melainkan juga menyangkut kepastian bahwa perjanjian yang dilakukan antara kreditur dan debitur benar-benar merupakan perjanjian pinjaman.

Perjanjian pinjaman lazimnya memuat klausul kewajiban pembayaran pokok pinjaman berikut bunganya, jatuh tempo pembayaran pokok pinjaman, dan penalti atau denda yang wajib dibayar ketika debitur melalaikan kewajibannya.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Agus Puji Priyono
baru saja
Sifat Putusan Hakim sayangnya tidak mengikat secara hukum, namun dapat menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan karena UU Kekuasaan Hakim menganut prinsip asas kebebasan dalam memutuskan perkara