ANALISIS PAJAK

Mencermati Batasan Pengkreditan PPN Masukan

Redaksi DDTCNews
Selasa, 24 September 2019 | 10.15 WIB
ddtc-loaderMencermati Batasan Pengkreditan PPN Masukan
DDTC Consulting

MARAKNYA pemeriksaan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) membuat kita ingin mencermati kembali pengaturan batasan pengkreditan pajak masukan. Kerap kali hambatan yang timbul pada saat memproses restitusi PPN adalah koreksi atas tidak terpenuhinya syarat pengkreditan pajak masukan.

Alan Schenk dan Oliver Oldman (2007) menyebutkan syarat utama pengkreditan pajak masukan adalah “Generally, a registered (or taxable) person can claim credit for input tax on acquisitions (import and domestic purchases) of goods and services used in connection with taxable supplies.”

Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dikatakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengkreditkan pajak masukan atas perolehan barang atau jasa sepanjang berhubungan dengan penyerahan yang dikenai PPN.

Lebih lanjut, menurut Doesum, Kesteren, dan Norden (2016), karakteristik yang penting dari sistem PPN adalah terkait dengan hak mengkreditkan pajak masukan sebagaimana tercantum dalam kutipan berikut: “Perhaps the most notable characteristic of the VAT system is the right of deduction.”

Adapun prinsip yang mendasari adanya hak untuk mengkreditkan pajak masukan adalah prinsip netralitas, sebagaimana diungkapkan oleh Doesum, Kesteren, dan Norden (2016): “The basic principle underlying the right of deduction is the principle of neutrality of VAT.”

Dalam praktik, hak pengkreditan pajak masukan di atas tidak diterapkan sepenuhnya. Misalnya dalam UU PPN, terdapat pengaturan batasan pengkreditan pajak masukan yang tercantum pada Pasal 9 ayat (8) sebagai berikut:

“Pengkreditan pajak masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk: a) perolehan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP; b) perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

c) perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; d) pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;

e) dihapus; f) perolehan BKP atau JKP yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli BKP atau penerima JKP;

g) pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); h) perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

i) perolehan BKP atau JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan j) perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).”

Isu Tambahan
SELAIN batasan itu, ada pula Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan yang mengatur tata cara meneliti keabsahan pajak masukan yang dikreditkan wajib pajak.

Dalam praktik, terdapat isu tambahan terkait dengan batasan pengkreditan pajak masukan yang merujuk pada KEP-754, yaitu tidak diperbolehkannya mengkreditkan pajak masukan yang disebabkan adanya konfirmasi dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dari PKP penjual.

Konfirmasi tersebut menyatakan pajak masukan yang dikreditkan wajib pajak, dalam hal ini sebagai PKP pembeli, belum dilaporkan oleh PKP penjual. Dengan kata lain, pajak masukan tersebut belum dilaporkan oleh PKP penjual.

Jika ditelisik lebih dalam, pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan konfirmasi itu tetap dapat dikreditkan PKP pembeli apabila KPP PKP penjual telah merilis Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar/Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atas pajak masukan itu kepada PKP penjual.

Selain itu, Pasal 9 ayat (8) UU PPN juga tidak mengatur pajak masukan tidak dapat dikreditkan karena belum dilaporkan PKP penjual. Dengan demikian, pihak yang seharusnya bertanggung jawab jika ada konfirmasi pajak masukan belum dilaporkan PKP penjual adalah PKP penjual, bukan PKP pembeli.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
andrepra
baru saja
Terima kasih sekali atas artikel ini, karena artikel ini sangat berkaitan dengan masalah yang pernah terjadi dengan proses pemeriksaan PPN kami s/d closing conference, dimana pemeriksa bertahan dengan KEP 754, dan kami bertahan dengan merujuk pada Pasal 9 Ayat 8 dan Pasal 16 F UU PPN, kami mengemukakan bahwa UU PPN kedudukannya lebih tinggi dibanging KEP...