DALAM working paper bertajuk āTaxation and The Future of Workā yang dirilis akhir Maret 2019, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memaparkan adanya fenomena peningkatan bentuk pekerjaan nonstandar.
Memang belum ada definisi universal tentang pekerjaan nonstandar. Namun, sejumlah organisasi telah mengembangkan definisi tersebut. Menurut OECD (2015), pekerjaan nonstandar mencakup wirausaha termasuk pekerja mandiri, kontrak sementara atau jangka tertentu, dan kerja paruh waktu.
Tentu peningkatan bentuk pekerjaan nonstandar ini memunculkan pertanyaan. Apakah sudah ada fleksibilitas dan kemampuan adaptasi pekerjanya? Atau justru ada penurunan kualitas pekerjaan karena otomatisasi, globalisasi, deregulasi tenaga kerja, peningkatan kekuatan pasar, atau teknologi.
Bagaimana dengan Indonesia? Bersamaan dengan berlanjutnya penurunan tingkat pengangguran terbuka, Badan Pusat Statistik (BPS) awal Mei 2019 menyampaikan ada peningkatan jumlah penduduk bekerja dari 127,07 juta orang pada Februari 2018 menjadi 129,36 juta orang pada Februari 2019.
Dari jumlah penduduk yang bekerja tersebut, sebanyak 39,13% merupakan buruh atau karyawan atau pegawai. Porsi pekerja yang masuk dalam pekerjaan standar menurut OECD ini naik dari periode sama tahun lalu 38,11%. Dengan demikian, porsi penduduk dalam pekerjaan nonstandar justru turun tipis.
Dalam pekerjaan nonstandar itu, pekerjaan berusaha sendiri naik dari 18,6% ke 19,2%. Pekerja bebas di pertanian juga naik tipis. Sisanya, penduduk yang berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja keluarga/tak dibayar, pekerja bebas di nonpertanian, serta berusaha dibantu buruh tetap, turun tipis.
Lantas, apakah ini masalah? Tentu tidak. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hingga saat ini gencar mengampanyekan agar masyarakat memanfaatkan peluang berwirausaha pada era digital. Fakta terbaru BPS itu jelas kabar baik karena mengindikasikan peningkatan wirausaha.
Apalagi, menurut OECD (2019), negara-negara umumnya memiliki tujuan memperkuat kewirausahaan melalui pemberian beban pajak yang lebih rendah. Hal ini pada gilirannya menempatkan tujuan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di atas netralitas dalam sistem pajak.
Dalam UU Pajak Penghasilan (PPh), pekerja standar dikenai tarif PPh 21 5%-30% sesuai dengan nilai penghasilan kena pajaknya. Untuk UKM dengan omzet Rp4,8 miliar, dikenakan tarif PPh final 0,5%. Selain itu, tarif PPh pekerja nonstandar juga bisa lebih rendah dari pekerja standar.
Sektor Hard-to-Tax
PRINSIP mengesampingkan netralitas dalam sistem pajak demi pertumbuhan ekonomi tentu bisa dipahami. Namun, hal itu harus dilakukan dengan hati-hati karena kenaikan pekerjaan nonstandar berisiko mengurangi penerimaan, terutama bagi negara yang mengandalkan pajak pekerjaan standar.
Menilik data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan PPh 21 pada semester I/2019 tercatat Rp78,08 triliun atau 22,56% dari realisasi PPh nonmigas Rp346,16 triliun. PPh nonmigas sendiri mengambil porsi 57,37% dari total realisasi penerimaan pajak senilai Rp603,34 triliun.
Selain itu, risiko akan bertambah jika perusahaan yang mengandalkan teknologi mempekerjakan pekerja nonstandar dengan tujuan pajak. Karena itu, meskipun ada tujuan prioritas, prinsip netralitas seharusnya tidak dilupakan. Evaluasi berkala terhadap efektivitas kebijakan seharusnya dijalankan.
Eduardo Lora dan Johanna Fajardo (2013) dalam buku āMore than Revenue: Taxation As a Development Toolā mengatakan peluang atau kemungkinan untuk tidak membayar pajak merupakan motivasi yang penting bagi individu atau perusahaan untuk menjalankan sektor informal.
Studi terhadap Kolombia menunjukkan kenaikan 10% pajak atas gaji (payroll taxes) telah mengerek informalitas 8%. Selain itu, kenaikan 10% gaji menurunkan pekerja formal 4%-5%. Dengan demikian, peningkatan pekerjaan nonstandar berisiko menambah sektor pajak yang sukar dipungut (hard-to-tax).
Padahal, dalam edisi keenam Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies, OECD memaparkan besarnya porsi serapan sektor informal dalam struktur ketenagakerjaan merupakan salah satu penyebab rendahnya tax ratio Indonesia di Asia Pasifik. Tingginya sektor informal dan adanya praktik penghindaran pajak membuat basis pajak Indonesia semakin sempit.
Roy Bahl (2004) dalam āTaxing the Hard-to-Tax: Lesson from Theory and Practiceā mengatakan pada banyak negara berkembang, sistem administrasi pajak tidak dapat menjangkau hard-to-tax sector. Ongkos administratif untuk menjangkau sektor ini jauh lebih tinggi dari penerimaannya sendiri.
Lantas, apa yang perlu dilakukan? Hal yang paling utama jelas dari sisi sistem administrasi itu sendiri. Administrasi pajak yang baik menjadi kunci mengurangi pengaruh PPh dalam informalitas pekerja terampil (highly skilled workers) seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital.
Rencana pemerintah memanfaatkan lebih banyak teknologi informasi dalam rangkaian proses bisnis dan administrasi sejatinya sudah dalam jalur yang tepat. Bagaimanapun, jangan sampai efek dari fenomena peningkatan pekerjaan nonstandar tidak diantisipasi dari awal.
Kalau efek tersebut tidak diantisipasi, fungsi pajak sebagai alat redistribusi pendapatan juga tidak mampu berjalan optimal. Bahkan, bisa lebih buruk dari saat ini karena makin banyak pihak yang tidak bisa dijangkau sistem pajak. Kita lihat.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.