PERMULAAN tahun 2019 diwarnai dengan kabar gembira dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) karena target penerimaan berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 melampaui target yang ditetapkan.
DJBC mencatat penerimaan kepabeanan dan cukai tembus 105,8% sebesar Rp 205,35 triliun dari target sebesar Rp194,10 triliun. Realisasi tersebut terdiri dari penerimaan bea masuk yang ditargetkan sebesar Rp35,7 triliun, dengan realisasinya sebesar Rp 39,0 triliun atau setara 109,2%. Kemudian bea keluar ditargetkan sebesar Rp3 triliun, dengan realisasinya sebesar Rp6,8 triliun atau setara 225,4%.
Lalu, penerimaan cukai dari target sebesar Rp155,4 triliun, berhasil direalisasikan sebesar Rp159,6 triliun atau setara 102,7%. Menariknya, dari total realisasi penerimaan DJBC tersebut, sektor penerimaan terbesar disumbangkan oleh cukai hasil tembakau sebesar Rp153 triliun atau setara kurang lebih 75% dari total penerimaan DJBC. Lantas, bagaimana kita harus membaca data-data pencapaian tersebut?
Refleksi
DI banyak negara, dewasa ini pemahaman terhadap fungsi pemungutan cukai mulai bergeser ke arah budgetair dan seperti mengesampingkan fungsi sebagai instrumen pengendali perilaku konsumsi. Pergeseran ini nampak dalam tren perluasan objek cukai secara global (Kristiaji dan Yustisia, 2019). Kecenderungan tersebut agaknya juga nampak di Indonesia. Misalnya, jika melihat dari penundaan penyesuaian tarif dan simplifikasi cukai hasil tembakau.
Pajak rokok -yang dipungut oleh daerah atas produk hasil tembakau- kini juga mengemban tugas yang ‘mulia’, yaitu sebagai dana penutup defisit BPJS Kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan dan peraturan teknis turunannya.
Kontribusi pungutan atas produk hasil tembakau bagi keuangan negara dan program jaminan kesehatan nasional menimbulkan persepsi yang lebih positif atas rokok. Walaupun faktanya, sebagaimana dilansir dari Reuters (2017), WHO menyatakan merokok "membakar" uang lebih dari US$1 triliun per tahun dan membunuh satu dari tiga orang pada 2030.
Kemudian, di Indonesia sendiri, kerugian makro ekonomi konsumsi rokok di tahun 2015 sendiri sekitar Rp600 triliun atau setara US$ 46 miliar berdasarkan hasil penelitian dan perhitungan kuantitatif dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kosen et al, 2017).
Pergeseran pandangan atas rokok sebagai pahlawan pendapatan negara menyentil keprihatinan penulis untuk sekadar mengingatkan kembali falsafah dari pungutan atas rokok atau hasil tembakau, baik atas pajak rokok, PPN hasil tembakau, serta khususnya pemungutan cukai hasil tembakau.
Filosofi utamanya bukanlah dimaksudkan sebagai pendapatan negara (fungsi budgetair), melainkan sebagai upaya mengurangi konsumsi rokok dalam rangka meningkatkan taraf mutu kesehatan masyarakat Indonesia. Terlebih jika kita membicarakan cukai yang sejatinya dipungut untuk memengaruhi perilaku konsumsi atau penggunaan produk tertentu (Cnossen, 2005).
Adapun fungsi budgetair merupakan konsekuensi logis atas adanya pungutan hasil tembakau tersebut. Pendapat ini menjadi sangat relevan karena dalam pemungutan pajak atau cukai atas rokok, pemerintah menggunakan media ekonomi untuk mencapai hasil nonekonomi, yaitu dalam rangka mengurangi konsumsi tembakau (Laffer, 2014).
Cukai Hasil Tembakau
MENURUT Undang-Undang tentang Cukai (UU No. 11 Tahun 1995 juncto UU No. 39 Tahun 2007), pengertian cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu dan mempunyai sifat dan karakteristik seperti diterapkan dalam undang-undang. Sifat dan karakteristik tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 2, yaitu barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Barang yang memenuhi seluruh sifat dan karakteristik tersebut dinyatakan sebagai barang kena cukai. Salah satu barang kena cukai menurut pasal 4 ialah hasil tembakau. Cukai ada karena eksternalitasnya. Eksternalitas dapat digolongkan menjadi positive externalities/external benefit (jika ada manfaat) dan negative externalities/external cost (jika timbul kerugian) (Suparmoko, 2012).
Tujuan pemungutan cukai lebih menitikberatkan pada fungsi regulerend karena dalam praktik seringkali seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa memperhatikan dampak eksternalita negatifnya (external cost) sehingga harga yang dibayar seolah-olah sangat lebih murah dibandingkan dengan harga yang sebenarnya.
Contohnya, pada saat orang mengonsumsi rokok, harga individu ialah sebesar harga rokok ketika orang membeli rokok, misalnya Rp500 per batang. Namun, sebenarnya masih ada harga lain yang harus ditanggung masyarakat dan perokok itu sendiri, antara lain biaya berobat karena penyakit yang disebabkan oleh rokok, waktu yang hilang karena sakit (berpengaruh terhadap produktivitas), dan kemungkinan menyebabkan penyakit yang disebabkan efek perokok pasif bagi orang-orang (terpaksa) ikut menghirup asap rokok yang dikonsumsi oleh perokok (Rosdiana & Irianto, 2012).
Negara lain di dunia pun menerapkan cukai atas konsumsi produk hasil tembakau dengan tujuan yang sama, seperti kebijakan pungutan negara atas hasil tembakau di Indonesia. Filipina sebagai salah satu anggota negara ASEAN yang sama seperti Indonesia, menerapkantobacco and alcohol excise tax sebagaimana diatur dalam Republic Act 10351 atau lebih populer disebut sebagai Sin Tax Law (STL) (Kaiser, Bredenkamp & Iglesias, 2016).
India dan Tiongkok sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia seperti Indonesia pun menerapkan pungutan yang sama atas rokok (Jois, 2009; The-wei Hu, 2016). Ditambah lagi agenda World Health Organization(WHO) dalam Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), khususnya pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa masing-masing pihak (dalam konvensi) harus mempertimbangkan tujuan kesehatan nasional tentang pengendalian tembakau.
Kesimpulannya, perlu dipahami kembali bahwa pemungutan cukai hasil tembakau utamanya dimaksudkan untuk mengatur (regulerend/social engineering) perilaku masyarakat atas konsumsi tembakau dalam negeri dalam rangka meningkatkan mutu kesehatan masyarakat. Dengan demikian, pemahaman perokok sebagai pahlawan pendapatan negara merupakan suatu opini yang kurang tepat.
Tercapainya target penerimaan DJBC di satu sisi memang membanggakan karena DJBC sebagai institusi pemungut cukai telah berhasil melaksanakan tugasnya. Akan tetapi, di sisi lain jangan dilupakan juga alasan yang mendasari dipungutnya cukai terhadap produk hasil tembakau. Apakah sudah efektif atau belum mencapai tujuannya untuk mengurangi konsumsi produk hasil tembakau di Indonesia.*