INDONESIA merupakan wilayah yang berada dalam jalur Pacific Ring of Fire. Berdasarkan kondisi geografis tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan wilayah dengan ancaman intensitas bencana alam yang tinggi (UNISDR, 2018). Tidak hanya tekanan sosial, penting untuk diperhatikan bahwa rangkaian bencana alam dapat menyebabkan tekanan fiskal yang signifikan terutama bagi penerimaan daerah (Friesema et al, 1979).
Bagi Indonesia sendiri, salah satu sumber penerimaan daerah ialah pajak atas properti. Pemajakan atas properti yang pada awalnya hanya menjadi fokus negara maju, pada perkembangannya kini semakin memainkan peran penting sebagai sumber pembiayaan daerah di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (Kitchen, 2013).
Dua jenis pajak atas properti yang umum dikenakan ialah Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). Pada 2018, penerimaan keduanya merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi untuk wilayah kabupaten/kota pada skala nasional.
Secara akumulatif, nilainya mencapai 13% dari total PAD kabupaten/kota (DJPK, 2018). Oleh karena itu, pemajakan atas properti menjadi sangat penting untuk dicermati dalam upaya pengelolaan bencana, baik sebelum maupun setelah terjadinya bencana bagi daerah rawan bencana di Indonesia.
Prabencana
KEBIJAKAN fiskal acapkali dipandang sebelah mata dalam upaya manajemen bencana alam. Padahal, beberapa program bantuan melalui kebijakan pajak, misalnya pemberian keringanan pajak melalui pengeluaran pajak (tax expenditure), memberikan dampak yang lebih positif dibandingkan pemberian bantuan langsung. Hal ini dapat disebabkan apabila pemerintah daerah yang diberikan bantuan langsung memiliki kapabilitas hukum yang kurang cakap dan masih rentan melakukan korupsi (Stead, 2006).
Konsep pemajakan atas properti dapat menjadi suatu langkah ‘preventif’ dalam mengelola risiko sebelum terjadinya bencana atau yang dikenal sebagai mitigasi bencana. Terlebih, dengan kondisi negara rawan bencana, pemerintah harus mampu menyiapkan kebijakan guna meminimalisasi dan menanggulangi bencana yang mungkin terjadi. Di sinilah pemajakan atas properti di Indonesia dapat dipersiapkan untuk kondisi tersebut.
Pada kondisi prabencana, pemajakan atas properti sebagai upaya mitigasi bencana salah satunya dapat dilakukan melalui pemberian intensif untuk properti yang dibangun dengan konsep ‘tahan bencana’.
Contohnya pemberian keringanan pajak untuk rumah tahan gempa (WCDRR, 2015). Walau menjadi ‘penerimaan daerah yang hilang,’ insentif ini akan mampu menekan biaya kerusakan yang lebih besar di kemudian hari.
Lebih lanjut, upaya mitigasi bencana juga dapat dilakukan melalui pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi (tax penalty) untuk pembangunan properti, baik berupa rumah maupun bangunan lainnya, pada zona yang rawan bencana (Sato, 2012). Dengan demikian, risiko bencana berupa korban jiwa maupun kerugian materiil akibat rusaknya bangunan di daerah rawan bencana dapat ditekan.
Pascabencana
PADA kondisi pascabencana, pajak atas properti dapat berperan aktif pada proses pemulihan dan rekonstruksi daerah terdampak bencana. Pemberian keringanan pajak dapat menjadi instrumen untuk mendorong pembangunan sehingga perekonomian kembali stabil.
Pemerintah juga dapat melakukan pembenahan administrasi pajak properti melalui pembebasan biaya pajak atas pendaftaran properti yang belum terdata secara formal pascabencana. Pembenahan administrasi melalui mekanisme pajak atas properti tersebut dapat menurunkan informalitas kepemilikan properti yang masih umum terjadi di negara dunia ketiga (Smolka dan De Cesare, 2013).
Pembenahan administrasi pajak properti serta keringanan pajak pascabencana memberikan dampak yang positif untuk pasar properti, terutama mengenai penyesuaian nilai. Informasi tentang nilai properti berupa tanah dan bangunan menjadi sangat penting pada pengelolaan pascabencana di daerah. Penyesuaian nilai aset melalui kebijakan dan administrasi pajak atas properti pascabencana juga dapat melindungi hak-hak para pengungsi yang terdampak bencana (Mitchell dan Myers, 2013).
Dalam jangka panjang, perluasan basis pajak atas properti tersebut juga dapat mendukung kegiatan pengelolaan risiko bencana di Indonesia. Salah satunya dapat diterapkan melalui penarikan premi asuransi untuk properti yang telah menjadi objek pajak (World Bank, 2016).
Selain menjadi bentuk perlindungan atas properti pribadi seperti yang diberlakukan di Turki, premi asuransi tersebut juga dapat menjadi bentuk skema pembiayaan untuk properti publik (World Bank, 2015). Dengan demikian, ketika terjadi bencana alam maka anggaran pemerintah menjadi lebih leluasa untuk memulihkan aset-aset negara.
Simpulan
SELAIN berperan dalam menurunkan tingkat ketimpangan dan membangun sifat gotong royong dalam membangun daerah (Samudera, 2016), pemajakan atas properti juga berperan penting dalam pengelolaan risiko bencana. Pembenahan sistem pemajakan atas properti dalam konteks manajemen bencana dapat ditinjau dari dua kurun waktu, yakni sebelum dan sesudah terjadinya bencana.
Pada kondisi sebelum terjadi bencana, sistem pemajakan atas properti dapat ditingkatkan melalui kebijakan yang bersifat penanggulangan risiko bencana. Penerapannya dapat dilakukan melalui pemberian insentif pajak untuk ‘bangunan tahan bencana.’
Dengan demikian, masyarakat diharapkan untuk tergerak mendirikan bangunan yang kokoh dengan mempertimbangkan dampak bencana di masa depan. Selain itu, biaya bencana juga dapat ditekan melalui peningkatan tarif pajak properti untuk bangunan yang didirikan di lokasi tidak aman sehingga masyarakat menghindari pembangunan aset di wilayah tersebut.
Pada kondisi setelah terjadi bencana, pembenahan sistem pemajakan atas properti dapat dilakukan melalui dua instrumen utama, yakni pemberian keringanan pajak atas properti untuk menggerakkan kembali roda perekonomian dan pembenahan sistem administrasi pajak atas properti. Kedua instrumen tersebut dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian nilai aset yang lebih baik serta perluasan basis pajak properti.
Selain diharapkan berperan untuk penerimaan daerah, pembenahan sistem pajak atas properti pascabencana tersebut juga dapat bermanfaat dalam agenda penurunan risiko bencana alam, terutama dalam aspek perlindungan atas kerugian material dari bencana alam. Menimbang hal-hal tersebut, diperlukan adanya pemanfaatan dan pembenahan sistem pajak atas properti lebih lanjut sebagai upaya pengelolaan risiko bencana di Indonesia.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.