DALAM praktik, seringkali ditemukan wajib pajak yang patuh merasa keberatan dan dirugikan dengan pengujian yang dilakukan oleh otoritas pajak, khususnya dalam pemeriksaan transfer pricing yang berkaitan dengan tarif royalti.
Keberatan wajib pajak tersebut bukan tanpa alasan. Transfer pricing adalah sengketa mengenai kewajaran atas transaksi hubungan istimewa, dan sifat subjektif dari apa yang dianggap sebagai nilai wajar inilah yang kemudian rentan untuk disengketakan.
Namun demikian, untuk menjamin pemeriksaan transfer pricing yang berkualitas, pemerintah melalui SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa telah merumuskan langkah-langkah dan pedoman bagi otoritas pajak dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing terhadap wajib pajak agar sesuai dengan prinsip keadilan fiskal (fiscal justice). Prinsip tersebut meliputi kepastian hukum, adil, sesuai dengan undang-undang, dan efisien (Darussalam, 2013).
Lantas bagaimana dengan pelaksanaan peraturan tersebut khususnya saat pemeriksaan pembayaran royalti?
Pada umumnya, dalam menguji kewajaran tarif royalti, otoritas pajak akan menggunakan metode perbandingan transaksi (Comparable Uncontrolled Transaction/CUT). Secara prinsip, metode perbandingan transaksi adalah metode yang paling tepat untuk menguji kewajaran pembayaran royalti. Namun, sebenarnya pengujian belum selesai sampai di situ.
Lampiran I, Bab II huruf B angka (1) (4) PER-22 menyatakan “Dalam pemeriksaan transfer pricing, perlu dilakukan penelitian awal atas kinerja finansial Wajib Pajak...”
Bab II Bagian B.3.c.a SE-50 juga menyatakan “Dalam hal Wajib Pajak adalah pihak yang memanfaatkan (licensee) atau pembeli dari harta tidak berwujud maka perlu memperhatikan hal-hal antara lain pembayaran yang dilakukan akan memperoleh tingkat pengembalian yang sepadan dibandingkan dengan royalti yang dibayarkan. Hal ini ditunjukan dengan analisis keuangan atas transaksi tersebut.”
Kewajiban untuk melakukan analisis di tingkat laba operasional pada peraturan saat ini (PER-22 dan SE-50) berlaku konsisten dengan peraturan terdahulu (interpretasi historis), yaitu S-153/PJ.4/2010 tentang Panduan Pemeriksaan Kewajaran Transaksi Afiliasi.
Lampiran I, Huruf B.6 S-153 menyatakan “Meskipun fokus penerapan prinsip kewajaran transaksi afiliasi dan hasil akhir penerapan metode transfer pricing adalah menentukan harga transaksi afiliasi yang wajar, namun pada akhirnya, setelah harga transaksi diterapkan, pemeriksa harus kembali menelaah keandalan penerapan prinsip kewajaran tersebut, yaitu dengan membandingkan laba bersih transaksi afiliasi setelah penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman tingkat laba bersih dan laba kena pajak sektor usaha yang sama.”
Lampiran I, Huruf B.6 S-153 juga menyatakan “Setelah harga kewajaran diterapkan, maka harus diteliti apakah bagian laba kena pajak yang dilaporkan di Indonesia setelah prinsip kewajaran diterapkan adalah bagian laba kena pajak yang realistis secara ekonomis dibandingkan kinerja laba kena pajak usaha sejenis.”
Peraturan-peraturan di atas harus dibaca dan dipertimbangkan secara keseluruhan karena saling berkaitan erat satu sama lain. Benang merahnya terletak pada makna bahwa pembayaran royalti tidak dapat dianalisis secara satu sisi saja (CUT), tetapi harus mempertimbangkan tingkat pengembalian dari royalti yang dibayarkan atau seberapa besar peran royalti tersebut dalam memberikan tingkat pengembalian yang sepadan bagi perusahaan.
Dengan demikian, kebenaran metode CUT harus dikonfirmasi melalui penerapan metode di tingkat laba bersih—yang umumnya dilakukan melalui metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM)—untuk memastikan apakah penerapan metode CUT tersebut realistis secara ekonomis maupun rasional di tingkat laba. Istilahnya, sanity check.
Apabila pengujian metode CUT dan TNMM menghasilkan hasil yang tidak konsisten, contohnya ‘wajar’ dan ‘tidak wajar’ atau sebaliknya ‘tidak wajar’ dan 'wajar', maka diperlukan pengujian ulang. Konfirmasi tersebut juga berfungsi untuk mencegah dilakukannya cherry picking pemilihan metode oleh pihak-pihak yang bersengketa. Cherry picking yang dimaksud adalah melakukan baik pemilihan metode maupun pembanding tanpa prosedur yang sesuai dengan peraturan dan cenderung subjektif.
Pasalnya, baik negara dan wajib pajak dapat dirugikan dengan adanya praktik cherry picking tersebut. Contohnya, negara dapat dirugikan apabila otoritas pajak hanya menerapkan metode CUT untuk menguji kewajaran tarif royalti.
Hal ini dapat terjadi apabila hasil pengujian tarif royalti dengan metode CUT sudah dianggap ‘wajar’, tetapi pada faktanya tidak memberikan tingkat pengembalian yang sepadan di tingkat laba dibandingkan dengan industri sejenis (CUT ‘wajar’ dan TNMM ‘tidak wajar’).
Di lain pihak, penerapan metode CUT tanpa didukung dengan metode TNMM juga dapat merugikan wajib pajak. Hal ini dapat terjadi apabila hasil pengujian tarif royalti dengan Metode CUT dianggap ‘tidak wajar’, tetapi pada faktanya telah memberikan tingkat pengembalian sepadan yang wajar dibandingan dengan industri sejenis (CUT ‘tidak wajar’ dan TNMM ‘wajar’).
Kondisi yang ideal adalah ketika hasil pengujian metode CUT dan TNMM memberikan hasil yang konsisten. Hal tersebut akan memperlihatkan sejauh mana relevansi dan rasionalitas pembayaran royalti bagi keberlangsungan dan pengembalian bisnis.
Sayangnya, dalam praktik pemeriksaan tidak seluruh pihak konsisten menjalankan analisis kewajaran atas tarif royalti dan laba bersih sehingga menimbulkan ketidakpastian. Setiap pihak yang bersengketa cenderung memilih metode yang memberikan hasil yang berpihak (favorable) kepada kepentingannya.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah pada saat metode CUT yang diterapkan secara tersendiri dan tanpa pengujian lebih lanjut dengan TNMM. Perdebatan untuk menemukan nilai yang dianggap wajar akan sangat sulit diselesaikan.
Terlebih dengan mengingat kesulitan penerapan CUT untuk menemukan pembanding yang memiliki derajat kesebandingan sangat tinggi (exact comparables) dalam transaksi royalti/intangibles. Alasannya, karena banyaknya faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan kesebandingan objek lisensi (Butani, 2009).
Pada akhirnya, penerapan kedua metode analisis transfer pricing atas pembayaran royalti—yang tercermin dalam peraturan-peraturan yang ada—bermaksud untuk memberikan kepastian, mengurangi sengketa, dan memberikan keadilan bagi kedua belah pihak.
Namun, apabila tidak dijalankan maka akan mencederai prinsip kepastian hukum yang merupakan salah satu pilar di dalam fiscal justice yang ditujukan untuk mencegah kesewenang-wenangan pemerintah dan membuat pelaksanaan hukum pajak yang predictable (Gribnau, 1999).
Apabila ketidakpastian tersebut dibiarkan maka jumlah sengketa diprediksi akan semakin meningkat dan perdebatannya hanya seputar area pembanding. Pertanyaannya, mau sampai kapan?*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.