ANALISIS PAJAK

Perlukah Memiliki National Tax Relief Disaster Act?

Redaksi DDTCNews
Selasa, 26 Februari 2019 | 11.10 WIB
ddtc-loaderPerlukah Memiliki National Tax Relief Disaster Act?
DDTC Consulting

BERDASARKAN Data Informasi Bencana Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana tahun 2010–2019 (DIBI BNPB, 2019), dalam satu dekade terakhir tercatat sekitar 17.178 kejadian bencana alam di Indonesia.

Kejadian bencana yang masih segar dalam ingatan masyarakat adalah tsunami yang terjadi pada penutup tahun 2018 di Selat Sunda dan sekitarnya. Kejadian tersebut direspons positif pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan menerbitkan keputusan KEP-370/PJ/2018.

Melalui keputusan ini, DJP menetapkan keadaan kahar (force majeure) sehingga wajib pajak yang berada atau memiliki usaha di wilayah terdampak bencana tersebut memiliki kemudahan administrasi pajak.

Kemudahan itu berupa pengecualian dari pengenaan sanksi administrasi atas keterlambatan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT)Masa atau SPT Tahunan dan pembayaran pajak atau utang pajak yang akan jatuh tempo serta mendapatkan perpanjangan batas waktu untuk pengajuan permohonan upaya hukum.

Di tahun yang sama, hal serupa juga dilakukan DJP pascaterjadinya bencana alam besar di Lombok, Nusa Tenggara Barat dan Donggala, Sulawesi Tengah dengan menerbitkan KEP-209/PJ/2018 dan KEP-271/PJ/2018.

Kemudahan yang diberikan oleh otoritas pajak kepada wajib pajak tersebut perlu dilakukan karena wajib pajak berhak menerima reaksi positif dan simpati lebih apabila menjadi korban bencana alam atau keadaan kahar (force majeure) lainnya (Barber, 2016).

Konsep serupa telah diterapkan oleh otoritas pajak Inggris (Her Majesty's Revenue and Customs) yang memiliki diskresi untukmenunda pembayaran atas penagihan pajak kepada wajib pajak dalam hal terjadi bencana alam atau keadaan kahar (force majeure) lain yang diatur di dalam Finance Act 2008 (Maas, 2017).

Namun, adakah kemudahan pajak lain yang pemerintah berikan demi meringankan beban wajib pajak korban bencana alam, mengingat ada banyak aspek perpajakan yang terdampak atau terkait dengan kejadian bencana?

Pada dasarnya, terdapat peraturan keringanan lain sebagaimana diatur Pasal 6 ayat (1) huruf i UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang memberikan fasilitas pengurang penghasilan bruto bagi wajib pajak yang mengeluarkan biaya sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional.

Selain itu, juga Pasal 4 ayat (1) PMK No. 82/PMK.03/2017 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang memberikan fasilitas keringanan pengurangan PBB paling tinggi 100% dari PBB yang terutang dalam hal objek pajak terkena dampak bencana alam.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan pemerintah sudah memiliki upaya positif dengan memberikan simpati lebih berupa kemudahan kepada para wajib pajak korban bencana alam. Namun, faktanya masih terdapat aspek pajak yang belum diatur secaraterperinci.

Jika dilakukan komparasi, Amerika Serikat (AS) memiliki regulasi yang dapat mengatur para wajib pajak korban bencana alam yang terjadi di seluruh wilayah AS melalui satu regulasi, yaitu National Disaster Tax Relief Act.

Salah satu kelebihan yang mencolok dari regulasi tersebut adalah terdapat sedikitnya 30 aspek pajak yang diatur secara terintegrasi di dalam National Disaster Tax Relief Act. Di antaranya mengenai pengurangan pajak terkait dengan biaya pengobatan korban bencana alam.

Kemudian, pembebanan biaya perusahaan terkait bencana alam, akumulasi net operating loss selama 5 tahun akibat bencana alam, kredit pajak terkait dengan biaya rehabilitasi bangunan yang terkena bencana alam, dan beberapa aspek pajak lainnya.

Sebagaimana disampaikan oleh Wang (2014), melalui penerapan National Disaster Tax Relief Act wajib pajak akan lebih mendapatkan kepastian dan keadilan hukum yang dibutuhkannya ketika menjadi korban bencana alam.

Dengan demikian, penerapan National Disaster Tax Relief Act dapat menjadi acuan yang positif untuk pemerintah pusat dalam menyusun regulasi kedepannya demi memberikan kepastian dan keadilan hukum yang lebih baik bagi wajib pajak.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.