JAKARTA, DDTCNews - Presiden Joko Widodo pada pekan lalu mengeluarkan wacana untuk menambah durasi libur pajak atau tax holiday menjadi 50 tahun. Hal ini tidak lain untuk menggenjot investasi lebih banyak masuk ke Indonesia.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan obral insentif akan menggerus penerimaan negara. Terlebih setoran pajak badan masih mendominasi struktur penerimaan pajak.
"Obral insentif pajak sampai 50 tahun kurang efektif pacu investasi. Yang terjadi justru potential loss dari penerimaan pajak khususnya PPh Badan bisa meningkat," katanya, Senin (30/7).
Lebih lanjut, pokok solusi bukanlah pada pemberian insentif, tapi bagaiama mempermudah proses bisnis otoritas pajak. Pasalnya, sektor ini yang kerap kali membuat investor enggan berusaha di tanah air.
"Faktornya birokrasi pengajuan insentif fiskalnya rumit. Dalam Ease of Doing Business (EoDB) 2017 peringkat Indonesia dalam kemudahan adminstrasi perpajakan ada di urutan 100 lebih. Pengusaha butuh 207 jam dalam setahun untuk urusan adminstrasi perpajakan. Itu kan waktu yang tidak efisien," terang Bhima.
Menurutnya, bila pemerintah menempuh jalan insentif fiskal untuk meningkatkan investasi diberikan secara spesifik. Salah satunya pemberian insentif untuk kebutuhan industri yang masih di impor.
"Kalau mau diberi insentif usulnya yang spesifik misalnya insentif pembebasan bea masuk untuk pengadaan mesin tekstil baru. Kemudian pemotongan pajak bagi perusahaan yang meningkatkan riset secara signifikan," paparnya.
Tidak berhenti pada pemberian insentif pajak dan perbaikan proses bisnis. Untuk menggenjot investasi harus dilakukan secara menyeluruh. Perbaikan daya saing merupakan faktor kunci untuk genjot investasi selain memberikan insentif.
"Dari seluruh komponen daya saing, soal pajak hanya bagian kecil. Potret besarnya ada di logistic cost kita yang masih 25% dari PDB ini menciptakan ekonomi berbiaya tinggi. Jadi semua pungutan resmi dan tidak resmi harus dikurangi. Perluasan ekspor jadi urgen ketika negara tujuan ekspor utama China dan AS sedang terlibat perang dagang," tutupnya. (Amu)