BERITA PAJAK HARI INI

Penerimaan Pajak Seret, Pengawasan WP Mulai Digencarkan Lagi

Redaksi DDTCNews
Senin, 20 Mei 2019 | 08.28 WIB
Penerimaan Pajak Seret, Pengawasan WP Mulai Digencarkan Lagi

Ilustrasi gedung DJP.

JAKARTA, DDTCNews – Pengawasan pascaimplementasi tax amnesty kembali digencarkan setelah kinerja pajak hingga akhir April 2018 mengalami perlambatan signifikan. Langkah Ditjen Pajak (DJP) ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (20/5/2019).

DJP mulai agresif menyisir data wajib pajak (WP) yang tidak sesuai dengan surat pemberitahuan (SPT) tahunan atau surat pernyataan harta (SPH). Hal ini sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2017 yang merupakan aturan turunan Undang-Undang No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal mengatakan implementasi PP No.36/2017 merupakan konsekuensi pascapelaksanaan tax amnesty. DJP, sambungnya, mencocokkan data yang ada tanpa melihat besar atau kecilnya harta.

“Data-data itu memang sudah ada di KPP [Kantor Pelayanan Pajak] jadi itu bisa dilakukan. Yang penting dicocokkan dengan data di kami. Tak ada kecil atau besar [hartanya],” tutur Yon.

Dalam PP tersebut memang tidak ada batasan harta. Setiap harta yang belum dilaporkan atau dideklarasikan saat pelaksanaan pengampunan pajak, harta tersebut akan dianggap sebagai penghasilan jika ditemukan oleh otoritas. Atas penghasilan itu dikenakan tarif WP badan 25%, WP orang pribadi 30%, dan WP tertentu 12,5%.

Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti tindak lanjut Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) atas rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait indikasi penyalahgunaan insentif cukai di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Tidak Langsung Masuk Pemeriksaan

Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak DJP Yon Arsal menegaskan pengawasan dilakukan DJP untuk meningkatkan kepatuhan WP. Atas temuan ketidakcocokan harta yang dilaporkan atau dideklarasikan, DJP tidak akan langsung memeriksa WP. Otoritas akan mengonfirmasi kesesuaian data terlebih dahulu.

“Enggak langsung jadi penerimaan juga. Data itu harus dicocokkan lagi,” kata Yon.

  • Pemerintah Perlu Ambil 2 Langkah Ini

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengungkapkan kinerja penerimaan pajak hingga April 2019 tidak jauh berbeda dengan pola realisasi selama 2015—2018. Dengan demikian, ada risiko tidak tercapainya target (shortfall) yang perlu diwaspadai.

Oleh karena itu, dia berpendapat ada dua langkah yang perlu diambil pemerintah. Pertama, meninjau kembali kebutuhan untuk merevisi target penerimaan. Apalagi, sambungnya, pemerintah juga berupaya mendorong daya saing dengan merelaksasi sistem pajak.

Kedua, melakukan upaya penegakan hukum melalui optimalisasi data tax amnesty, automatic exchange of information (AEoI), serta data-data lain yang diperoleh dari pihak ketiga. Penegakan hukum, lanjut Bawono, harus memegang prinsip sama dan setara. Artinya, WP yang tidak patuh harus mendapat tindakan sesuai ketentuan perpajakan.

“Sedangkan yang selama ini patuh justru seharusnya diberikan kemudahan dan pelayanan yang optimal. Inilah prinsip compliance risk management yang jadi standar di banyak negara,” jelas Bawono.

  • Fasilitas Pembebasan Cukai Dicabut

DJBC mengeluarkan nota dinas yang berisi beberapa aspek yang telah dilakukan pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi KPK. Jajaran otoritas kepabeanan, dalam nota dinas itu, diminta untuk segera melaksanakan rekomendasi KPK yaitu mencabut pemberian fasilitas cukai.

Pertimbangan pencabutan tersebut didasarkan pada UU No. 39/2007 tentang Cukai yang mengatur bahwa rokok dan minuman beralkohol termasuk jenis barang yang kena cukai, dan UU Cukai tidak memberikan pembebasan atas pemasukan ke KPBPB.

Selain itu, dalam Pasal 17 ayat (2) PP No. 10/2012 mengatur bahwa pemasukan barang kena cukai (BKC) untuk kebutuhan konsumsi di KPBPB “dapat” diberikan pembebasan cukai. Artinya, PP tersebut tidak mewajibkan pemberian pembebasan cukai.

  • Kemampuan Bayar Utang Perlu Diwaspadai

Kemampuan bayar utang luar negeri Indonesia perlu diwaspadai. Pasalnya, debt service ratio (DSR) tier-1 – yang mencakup pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan bunga atas utang jangka pendek – per Maret 2019 tercatat sebesar 27,96%, naik dibandingkan akhir 2018 sebesar 25,41%.

Semakin besar DSR menggambarkan beban utang yang ditanggung semakin besar. Padahal, batas aman DSR bagi negara berkembang, menurut standar dari International Monetary Fund (IMF), sebesar 25%. Dengan demikian, DSR Indonesia sudah di atas standar tersebut. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.