PAJAK merupakan instrumen vital dalam penyelenggaraan pembangunan negara. Kontribusi rakyat melalui pajak digunakan oleh pemerintah untuk mendanai pembiayaan dan pembangunan nasional.
Dengan peral vitalnya, isu pajak pada akhirnya tidak terlepas dari visi-misi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan bertarung dalam pemilihan umum pada tahun depan. Pertanyaannya, bagaimana rencana kebijakan pajak dari para kandidat capres dan cawapres?
Terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Masing-masing pasangan memiliki program dan kebijakan pajak yang diusungkan.
Pada pasangan Jokowi-Ma’ruf, program pajak yang dijanjikan yaitu menguatkan kebijakan fiskal dengan mengedepankan kelanjutan program reformasi perpajakan. Kebijakan reformasi perpajakan dilihat sebagai kunci peningkatan daya saing perekonomian nasional dan penurunan tingkat kesenjangan.
Sementara itu, Prabowo-Sandiaga memiliki beberapa cetusan kebijakan pajak yang menarik ditelisik lebih lanjut, di antaranya rencanan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) badan dari yang semula 25% menjadi 17%, menaikkan nominal batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.
Selain itu, terdapat pula rencana untuk menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga.
Sebagaimana diketahui, tarif PPh badan di Indonesia mencapai 25%, lebih tinggi dibanding Singapura yang menerapkan tarif 19% untuk pajak korporasi. Rencana penurunan PPh dinilai akan memberi dampak positif, salah satunya meningkatkan daya saing sektor industri di Indonesia.
Penurunan tarif PPh dianggap akan meningkatkan kemampuan perusahaan untuk melakukan ekspansi dan meningkatkan daya saing perusahaan. Jika daya saing naik, maka kinerja industri juga akan tumbuh. Jika kinerja industri meningkat maka ekspor pun akan meningkat pula.
Kendati demikian, perlu diwaspadai, kebijakan penurunan PPh tidak akan berjalan baik apabila tidak dibarengi dengan perencanaan yang bagus. Jika dilakukan dengan perencanaan yang buruk akan berakibat pada penurunan setoran pajak pada APBN sehingga pembangunan nasional pun terhambat.Penurunan tarif PPh dapat dilakukan asal jumlah wajib pajak yang menjadi tax based meningkat.
Terkait dengan menaikkan batas nominal PTKP, rencana kebijakan ini kurang masuk akal. Batas PTKP yang saat ini diterapkan (dengan status belum kawin) adalah Rp4,5 juta per bulan. Paslon nomor urut dua menyatakan apabila terpilih, batasan PTKP rencananya akan dinaikkan sampai dua kali upah minimum pekerja untuk wilayah DKI Jakarta.
Apabila dinalar secara awam, kebijakan seperti ini perlu dipertimbangkan lagi. Realisasi penerimaan pajak hingg kini masih sulit untuk mencapai target serta adanya beban hutang luar negeri. Apabila batasan nominal PTKP dinaikkan, hal tersebut tentu membuat penerimaan pajak negara semakin tergerus.
Akan tetapi, bila dilihat sudut pandang yang lain, kenaikan PTKP dapat memberi dampak positif. Salah satunya, kenaikan batas PTKP diharapkan dapat membuat tingkat konsumsi masyarakat semakin bertambah sehingga akan meningkatkan setoran pajak di berbagai sektor lainnya.
Adapun, terkair penghapusan PBB rumah utama atau pertama. Upaya penghapusan PBB sendiri pernah dilakukan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan, pada 2015 lalu. Sayang sekali usulan tersebut ditolak oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan.
Usulan tersebut ditolak karena PBB sendiri sudah diatur oleh undang-undang dan upaya penghapusan PBB di tingkat daerah sulit untuk dilakukan. Untuk informasi saja, PBB sektor perdesaan dan perkotaan merupakan pajak yang semula dikelola oleh pemerintah pusat yang kemudian diserahkan ke pemerintah daerah menjadi pajak daerah. Dengan demikian, sektor tersebut menjadi sumber pendapatan daerah.
Dasar hukum pengenaan PBB di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 dan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 201/KMK.04/2000. Untuk itu, apabila hendak menghapus PBB untuk rumah tinggal utama dan pertama maka perlu merubah undang-undang.
Penghapusan PBB terbatas rumah tinggal utama dan pertama dianggap tidak akan banyak mempengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak. PBB masih bisa dikenakan pada rumah tinggal kedua atau bangunan komersial lain, seperti rumah kos, hotel, restoran, dan sebagainya.
Dampak positifnya, rumah-rumah yang berada di Kawasan mewah yang tidak jadi ditinggali akibat tingginya PBB menjadi berpenghuni. Penghapusan PBB juga dapat menjadi instrumen alamiah yang bisa mencegah penggusuran masyarakat dari permukiman awal tempat dia tinggal.
Terakhir, isu perpajakan menjadi salah satu hal sentral dalam visi dan misi dua pasangan calon pemimpin Indonesia 2019-2024 karena dampaknya sangat penting bagi negara. Alangkah baiknya sebagai paslon pemimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk melakukan pengkajian sebelum merumuskan visi-misi sebab berdampak penting pada kemajuan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.*