LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Menimbang Prospect Theory untuk Menggenjot Kepatuhan

Redaksi DDTCNews | Rabu, 22 Januari 2020 | 17:01 WIB
Menimbang Prospect Theory untuk Menggenjot Kepatuhan
Rosa Nur Fitriyana
Situbondo
, Jawa Timur

PAJAK adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam pengertian itu, frasa tidak mendapatkan imbalan secara langsung rasanya perlu digarisbawahi. Pasalnya, seringkali ketaatan membayar pajak disepelekan orang. Padahal, berbagai kemudahan dalam membayar di era modern ini sudah jelas adanya.

Melalui digitalisasi, masyarakat dapat menggunakan jalur elektronik/online saat membayar pajak. Inilah yang kemudian harus diperhatikan karena menjadi permasalahan umum di negara-negara di dunia yang semakin hari belum juga teratasi.

Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), kepatuhan wajib pajak mencapai 67,2% per 29 Juli 2019. Angka itu pada kenyataannya tidak mencapai target. Kurangnya kesadaran ini tentu dapat berdampak negatif bagi keuangan negara. Karena itu, problem tersebut perlu diselesaikan.

Banyak pihak berpikir sosialisasi dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran pajak. Namun, meski berbagai sosialisasi telah dilakukan, kenyataannya kesadaran itu belum sesuai dengan ekspektasi. Untuk itu perlu upaya yang lebih optimal agar tingkat kepatuhan pajak dapat meningkat.

Misalnya dengan memanfaatkan prospect theory. Teori ini berhubungan dengan dua hal, yaitu ekonomi dan psikologi. Teori prospek ini menjelaskan pengambilan keputusan pada saat yang berisiko, yaitu antara memilih jalan yang lebih berisiko (risk-seeking) atau tidak (risk-aversion).

Berisiko atau Tidak Berisiko
BAGI orang yang telah mendapatkan sesuatu atau dalam kondisi berhasil, mereka akan cenderung memilih keputusan yang tidak berisiko. Sebaliknya, orang yg mengalami kesulitan, biasanya memilih cara yang lebih berisiko dan sekaligus membuka peluang untuk mendapatkan sesuatu.

Teori tersebut tentu bisa diterapkan untuk meningkatkan kesadaran warga melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajaknya. Pada saat membayar pajak, masyarakat cenderung malas, karena mereka akan kehilangan harta dan tidak mendapatkan manfaat secara langsung.

Namun, jika mereka dihadapkan pada suatu keuntungan yang diperoleh setelah membayarkan kewajibannya tersebut, prospect theory mengatakan mereka akan lebih termotivasi melakukannya. Lalu, apa keuntungan yang dapat ditawarkan oleh pemerintah?

Kita bisa ambil contoh dari penerapan simpanan wajib di beberapa sekolah. Ada sekolah yang menambahkan simpanan tersebut ke biaya sekolah, sehingga saat lulus nanti siswa menerima sejumlah uang, yang tentu saja akan menciptakan kepuasan tersendiri bagi siswa.

Sama halnya dengan itu, persentase pajak bisa saja dinaikkan sedikit, tetapi kenaikannya itu adalah sejumlah uang yang akan diterima wajib pajak pada saat pelaporan SPT tahunan. Aturan seperti ini juga akan mendorong mereka melaporkan SPT tepat waktu.

Memang akan terdengar sama saja. Perbedaan yang mencolok wajib pajak akan menerima sejumlah uang saat pelaporan SPT, yang akan menjadi motivasi untuk lebih giat membayar pajak pada periode berikutnya, karena mereka merasa mendapatkan reward dari pengorbanannya tersebut.

Penerapan teori seperti ini kelihatannya sederhana. Namun, Pemerintah Amerika Serikat ternyata telah membuktikan sendiri dalam menerapkan kebijakan tax return yang dibarengi dengan pelaporan SPT. Saat pelaporan, wajib pajak di sana mendapatkan uang dari pemerintahnya (Lahuddin, 2019).

Akankah jika teori ini diterapkan di Indonesia maka akan berhasil meningkatkan kepatuhan pajak? Apakah sistem restitusi perlu diubah untuk dipersamakan waktunya dengan penyerahan SPT? Atau teori ini malah akan menurunkan tingkat kepatuhan pajak? Waktu yang akan menjawab.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

22 Januari 2020 | 19:28 WIB

nice

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN