EKONOMI DIGITAL

Menganalisis Pemajakan Perusahaan Teknologi Tanpa Kehadiran Fisik

Redaksi DDTCNews
Selasa, 15 September 2020 | 08.30 WIB
Menganalisis Pemajakan Perusahaan Teknologi Tanpa Kehadiran Fisik

PEMAJAKAN atas perusahaan teknologi tanpa adanya kehadiran fisik menjadi bahasan yang menarik dalam artikel yang berjudul ‘A Four-Factor Framework for Analyzing the Taxation of Tech Companies With Limited to No Physical Presence’.

Artikel yang dimuat dalam Tax Notes International vol. 99 no. 11, 14 September 2020 ini merupakan tulisan kolaborasi Associate of Antolin Agarwal LLP California Philip Wolf dan Specialist of Transfer Pricing Services DDTC Davira Chairunnisa. 

Artikel ini memaparkan studi komparatif pemajakan perusahaan teknologi antara San Francisco melalui Proposition D ‘Marijuana Business Tax Increase’ dan Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 1/2020.

Melalui Proposition D, San Francisco mengenakan pajak pada industri mariyuana. Pajak ini berlaku untuk bisnis mariyuana yang berlokasi tetap ataupun tidak memiliki kehadiran fisik di San Francisco. Dalam bentuk akhirnya, Proposisi D mencakup pajak serupa untuk sektor bisnis lainnya, yakni perusahaan teknologi yang beroperasional di San Francisco.

Indonesia memberlakukan Perpu 1/2020 untuk memajaki perusahaan teknologi yang memenuhi konsep significant economic presence (SEP) meskipun tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia ataupun mengenakan pajak transaksi elektronik (PTE).

Perpu tersebut menyatakan pemasukan pajak yang didapat akan digunakan untuk membiayai negara dalam merespons pandemi Covid-19. Pada Mei 2020, Indonesia telah mengesahkan Perpu 1/2020 sebagai UU No. 2 Tahun 2020.

Setelah memberikan gambaran umum mengenai Proposisi D dan Perpu 1/2020, penulis kemudian menggunakan empat faktor sebagai landasan analisis komparatif kedua yurisdiksi. Keempatnya adalah pemberlakuan hukum, tujuan pemungutan pajak, pandangan subjektif yang mendasari pengenaan pajak, serta implikasi ekonomi terhadap yurisdiksi atas pengenaan pajak.

Terkait dengan pemberlakuan hukum, charter – dokumen yang menguraikan bagaimana sebuah kota diatur – San Francisco menyediakan dua opsi pemberlakuan aturan, yakni dewan pengawas dapat mengusulkan peraturan yang harus disetujui oleh 6 dari 11 pengawas atau usulan warga yang disetujui berdasarkan perhitungan suara. Dalam kasus ini, Proposisi D ditetapkan melalui perhitungan suara warga.

Indonesia memberikan kewenangan kepada presiden untuk menerbitkan Perpu dalam keadaan ‘genting’ yang didefinisikan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009. Perpu dievaluasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang kemudian akan memutuskan untuk menyetujui atau mencabut Perpu tersebut.

Dari kedua deskripsi tersebut, dapat dikatakan proses yang dilakukan San Francisco dan Indonesia dalam memberlakukan peraturan sangat berbeda. Akan tetapi, kedua yurisdiksi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing di dalam penerapannya.

Berkaitan dengan tujuan pemungutan pajak, di San Francisco, Proposition D ditujukan untuk meningkatkan pendapatan umum (general fund). Adapun Perpu 1/2020 secara khusus diterapkan untuk menyelamatkan ekonomi nasional karena dana yang terkumpul akan digunakan untuk belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, pemulihan ekonomi, serta penguatan kewenangan berbagai lembaga dalam sektor keuangan.

Mengenai pandangan subjektif (value judgement) yang mendasari pengenaan pajak, berlakunya Proposition D dan Perpu 1/2020 akan berdampak pada perusahaan raksasa teknologi Amerika Serikat (AS). Beberapa perusahaan tersebut memiliki riwayat penghindaran pajak.

Kemudian, terlepas dari tingginya jumlah pengguna jasa perusahaan teknologi, masih terdapat pihak yang kontra terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam kata lain, baik di San Francisco maupun Indonesia, perusahaan raksasa teknologi AS adalah target yang atraktif untuk dikenakan pajak.

Terkait dengan implikasi ekonomi terhadap yurisdiksi atas pengenaan pajak. The Office of the Controller for the City and County of San Francisco memproyeksikan tambahan pendapatan tahunan kota senilai US$2 juta hingga US$4 juta dari wajib pajak baru.

Di satu sisi, perusahaan-perusahaan teknologi AS dapat melakukan strategi untuk menghindari pajak tersebut. Akan tetapi, berkaca dari kasus Amazon dan Twitter, perusahaan teknologi tidak akan menghentikan operasionalnya hanya karena ancaman pajak.

Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan pertumbuhan pasar e-commerce tertinggi di dunia. Pajak yang dibayarkan oleh perusahaan teknologi AS dirasa tidak akan melebihi manfaat yang diterima perusahaan dengan beroperasi di Indonesia. Oleh karena itu, kecil kemungkinan bagi perusahaan teknologi AS menghentikan operasionalnya di Indonesia karena pengenaan pajak digital.

Secara keseluruhan, artikel ini menyajikan deskripsi serta analisis dalam pemajakan perusahaan teknologi tanpa kehadiran fisik oleh San Francisco dan Indonesia. Penulisan yang runtut dan terorganisasi mempermudah pembaca yang ingin memulai memahami pemajakan perusahaan teknologi tanpa kehadiran fisik di suatu yurisdiksi.

Artikel ini juga dapat menjadi bacaan yang sangat menarik bagi para pihak yang menjadi pemerhati pajak digital, praktisi, peneliti, dan tentunya otoritas pajak.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.